Nuansa Remaja

Blog Remaja Indonesia

Nuansa Remaja

Blog Remaja Indonesia

Mainan lucu anakku

 Hai teman-teman semua, apakabar ??  sudah lama saya tidak buka blog ini, tidak terasa sudah 8 tahun saya tidak menulis pada blog ini, cerita sedikit blog ini saya buat sewaktu saya masih duduk di bangku smk dan sekarang saya sudah memiliki istri dan seorang anak berumur kurang lebih 1 tahun 9 bulan, mohon maaf apabila untuk teman-teman yang sudah lama menunggu kelanjutan cerita-cerita pada blog ini, karena kesibukan saya pasca saya lulus sekolah dan betapa kerasnya kehidupan saya putuskan pensiun yang amat lama, dan kini saya balik lagi setelah sekian lama saya coba untuk membuka blog ini, setelah saya lihat statistik pengunjung blog ini, maka saya memiliki niat untuk kembali menulis lagi, dan pada kesempatan kali ini saya ingin coba untuk menulis tetapi dengan gaya saya sendiri dan tentang kehidupan saya sekarang..:)


Pada kali ini saya ingin bercerita tentang salah satu mainan kesukaan anak saya, yaitu sepeda berbentuk jerapah, lucu sih, mungkin karena itu anak saya jadi suka, dan kalo udah main sepeda ini, mainan yg lain udah lupa, 


Mainan ini saya beli di shopee dengan harga yang tidak terlalu mahal dan dengan kualitas bahan yang bagus dan aman untuk anak kecil, saya belinya sekita 140ribuan.
Dan ini video anak saya sedang memainkan sepeda lucu ini, anak bahagia orang tua pun senang, hehehe


Sampai disini dulu ya teman-teman, mohon maaf tidak bisa menulis panjang lebar dan masih tekesan kaku maklum saya sudah lama sekali tidak menulis hehehe. lain kesempatan bertemu kembali dengan cerita saya selanjutnya...






READ MORE - Mainan lucu anakku

Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #25

"Hari ini aku kuliah! Yayy!" Karin memekik kesenangan sambil memasukkan buku-buku tebalnya ke dalam tas. Dibandingkan pergi kerja, Karin memang jauh lebih semangat pergi kuliah. Disana ia serasa terbebas dari Tan yang super cerewet, menurutnya.

Setelah mengemas tas, gadis itu bergegas keluar rumah. Usai mengunci pintu rumah nya yang kosong, ia pun segera melangkah menyusuri trotoar. Ia akan naik bis hari ini untuk menghemat biaya.

Karin asik dengan ponselnya, berniat mengetikkan sms untuk Gracia, namun belum sempat sms itu terkirim, sebuah panggilan sudah masuk ke ponselnya dengan name kontak 'Bos seTan'. Karin mendengus lalu dengan kesal menjawab telfonnya.

"Aku tidak masuk hari ini, aku ada kuliah! Kuliahku sampai sore!" celetuk Karin. Beberapa saat kemudian, ia langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Teriakan Tan melengking dahsyat dan mengerikan.

"Tidak bisa!!"

"Apa nya yang tidak bisa? Kau sendiri kan yang bilang, aku boleh datang kapanpun sepulang kuliah dan hari ini aku pulang tepat saat jam kerjaku berakhir! Masa aku harus datang ke kantor disaat semua orang pulang!" oceh Karin dengan tampang keki.

"Kalau begitu gaji mu ku potong!" tukas Tan. Karin tergelak.

"Hey.. Kau bahkan sudah memberikan gajiku sebelum aku mulai bekerja!"

"Kalau begitu gaji keduamu yang akan ku potong!"

"Heh! Mana boleh begitu!" sungut Karin yang mulai emosi. Ia heran, rasanya setiap kali bicara dengan Tan, bawaannya selalu emosi.

"Kenapa tidak boleh? Aku bosnya! Sudah lah, tidak apa-apa kalau kau tidak masuk hari ini tapi gajimu aku potong setengah!"

"Heh! Kau..." Karin yang hendak melayangkan protes langsung menggeram kesal karena sambungan telfon sudah di putuskan oleh Tan. Gadis itupun menjerit kesal dan berniat membanting ponselnya, namun mengingat itu adalah barang berharga yang sangat penting, ia pun mengurungkan niatnya.

"Aku ada latihan teater hari ini.. Aish! Aku tidak akan ke kantor!" tukas Karin setengah mengeluh kemudian lekas mempercepat langkah menuju halte.

***

Tan bersungut-sungut di depan pintu rumahnya sambil menatap layar ponsel di tangannya. Ia benar-benar kesal karena Karin bersikeras tak mau masuk kerja. Bahkan ancaman potong gaji pun tak mempan untuk gadis itu.

"Lihat saja! Dia pasti akan datang!" tukas Tan yakin.

"Daaaaan!!" teriakan itu membuat Tan melengos. Siapa lagi yang suka memanggil namanya sambil teriak-teriak seperti itu kalau bukan Reina.

Tan menoleh dan melihat sepupunya itu muncul di pintu gerbang rumahnya sambil melambai-lambaikan tangan kearahnya.

"Mau apa kau doraemon?!" teriak Tan sambil bertolak pinggang. Reina hanya tersenyum lalu berjalan mendekatinya.

"Antarkan aku!" seru Reina. Tan mendelik dan mendengus jengkel.

"Kau datang kesini hanya untuk meminta ku mengantarkanmu? Ya ampun.. Siapa kau? Aku tidak kenal!" sungut Tan seraya mendorong bahu Reina dan melangkah melewatinya. Reina mendesis lalu lekas menyusul Tan yang memacu langkah kearah mobilnya.

"Ayolah.. Aku benar-benar butuh tumpangan hari ini.. Pagi-pagi sekali kak Keenan sudah berangkat, Papa tidak pulang dari semalam dan Mama sedang menjenguk Omah.. Aku harus pergi dengan siapa kalau bukan kau?" Reina mulai merengek sambil bergelayut di lengan Tan.

"Heh! Aku tidak punya waktu mengantarmu! Aku harus ke kantor!"

"Kau jahat sekali! Akan ku adukan pada Ibumu.." ancam Reina lalu berlari menuju pintu rumah Tan yang terbuka. Tan melengos jengkel.

"Heh! Baiklah! Aku akan mengantarmu!" teriak Tan dan Reina langsung menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan tersenyum menang.

"Kau puas?!" tanya Tan keki.

"Puas sekali!" sahut Reina tersenyum lebar.

Tan meringis. Menyesali rumahnya yang berada dekat dengan rumah sepupunya itu.

"Cepatlah! Aku harus menemui dosen pagi ini!" seru Reina yang sudah masuk ke dalam mobil. Tan mendesis, kalau dilihat-lihat kelakuan Reina itu mirip sekali dengan Karin.

Bicara soal Karin, Tan jadi berpikir mengenai keuntungan mengantar Reina ke kampus. Dengan begitu, ia bisa sekalian memastikan apa Karin benar-benar ada di kampus atau tidak. Diam-diam, Tan tersenyum kecil.

***

"Zayn!" Karin memekik memanggil Zayn yang tengah berkutat dengan laptopnya di salah satu meja kantin. Lelaki itu menoleh ketika namanya di panggil dan tersenyum ramah pada gadis yang memanggilnya.

Karin bergegas ketempat Zayn duduk dan langsung mengambil tempat di sampingnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Karin sambil menatap layar laptop Zayn.

"Hanya mendownload film.." jawab Zayn. Karin seketika memukul lengannya.

"Hoby mu tidak pernah berubah.." desisnya dan Zayn tertawa kecil.

"Kau sendiri juga tidak pernah merubah hoby mu memukul lenganku!" umpat Zayn. Karin hanya nyengir.

"Eh iya.. Kau ikut teater Putri Tidur kan?" tanya Zayn. Karin mengangguk dengan bibir mengerucut.

"Mamalukan sekali kan? Aku heran kenapa pelatih memilih dongeng anak-anak untuk di pentaskan!"

"Hey.. Dongeng anak-anak apa? Disitu ada adegan kissing nya tau, lebih tepatnya itu dongeng remaja!"

"Kau benar! Dan adegan itu yang paling membuatku merasa sebagai wanita paling sial di dunia ini! Aku harus membiarkan Addy menciumku! Aish!" Karin merutuk. Zayn tersenyum lalu menatapnya serius.

"Kalau yang menciummu itu aku, apa kau masih merasa sebagai gadis paling sial?"

Pertanyaan Zayn seketika membuat Karin tertegun. Apalagi ditambah senyuman Zayn yang manis, Karin jadi salah tingkah sendiri.

"Aish! Jangan bercanda dengan ku pagi-pagi begini!" keluh Karin sambil memukul lagi lengan Zayn. Zayn hanya tertawa sambil mengusap-usap lengannya.

"Hey.. Bolehkah aku menawarkan diri menggantikan Addy untuk memerankan tokoh pangeran?" tanya Zayn. Karin mengangkat alisnya.

"Kau benar-benar ingin menciumku?" tanya Karin setengah bercanda tapi Zayn malah mengangguk pasti. Pipi Karin mendadak panas.

"Hey.. Kau itu anak baru! Mereka tidak akan menerimamu semudah itu!" ujar Karin berusaha mengalihkan kegugupannya.

"Siapa bilang? Meskipun aku baru, aku tau banyak tentang cerita Putri tidur! Aku bisa mendalami karakter pangeran dengan sangat baik! Aku yakin, kalau aku menawarkan diri, mereka akan dengan mudah menerimaku!"

"Heum.. Lakukanlah semaumu!" desis Karin yang sudah tidak tahan dibuat merona oleh Zayn. Zayn hanya tersenyum tapi ia serius dengan ucapannya.

***

"Terimakasih sepupuku yang manis.. Aku akan mengingat jasamu sepanjang hidupku!" ucap Reina sumringah lalu bergegas turun dari mobil Tan. Tan mendecih kemudian ikut turun.

"Tidak usah berlebihan! Traktir aku sebagai ucapan terimakasih!" kata Tan datar. Reina menatapnya heran.

"Sejak kapan kau jadi materialistik seperti ini?"

"Sejak aku merasa lapar! Cepat traktir aku atau aku tidak akan mau membantumu lagi!"

"Ah.. Baiklah.. Nanti sepulang kuliah, akan ku traktir kau makan ya.." kata Reina lalu bergegas pergi namun Tan dengan cepat menahan lengannya.

"Traktir sekarang! Aku belum sarapan dan keroncongan!"

"Tapi tadi kau bilang harus ke kantor.."

"Mana bisa aku ke kantor dengan perut kelaparan.."

"Hah.. Kau rewel sekali! Baiklah.. Ayo masuk.. Kita makan di kantin kampus saja.. Sepagi ini pasti belum ramai.." ajak Reina dan Tan dengan cepat menyetujuinya. Ia langsung berjalan beriringan dengan Reina memasuki area kampus. Sembari berjalan, matanya tak henti mencari-cari keberadaan Karin.

"Oh ya.. Gadis yang kemarin itu.. Siapa?" tanya Reina tiba-tiba.

"Siapa?" Tan yang tidak fokus malah balik bertanya.

"Gadis yang kemarin pergi dengan Zayn!"

"Oh.. Dia sekretaris baruku di kantor.."

"Eum, sepertinya.. Dia dekat dengan Zayn.."

Tan mendelik, menyadari nada bicara Reina yang merendah dan gadis itupun menundukkan kepalanya. Tan jadi semakin yakin bahwa Reina suka pada lelaki yang kemarin menyelamatkan gadis itu dari amukannya.

Tak berapa lama, mereka tiba di salah satu kantin yang tersedia di kampus itu. Reina langsung menarik tangan Tan dan mengajaknya duduk di tempat yang masih kosong.

Tan menurut lalu tiba-tiba tertegun, ketika matanya menangkap keberadaan Karin di kantin itu bersama seorang pria yang ia kenali adalah Zayn. Mereka terlihat akrab dan Karin selalu tersenyum senang saat bersama lelaki itu dan hal itu membuat Tan mendadak panas.

"Dan! Kau mau makan apa? Ini kantin terbaik di sini! Menunya seperti di restoran!" kata Reina sedikit promosi. Ia duduk di depan Tan sehingga tidak melihat keberadaan Zayn dan Karin.

"Emm.. Aku.. Terserah kau saja!" kata Tan yang tidak fokus. Reina mengangguk-anggukkan kepalanya lalu melambaikan tangan pada seorang pelayan di kantin itu.

"Bibi, kami pesan dua porsi pasta kerang dan dua gelas teh dingin.." ucap Reina menyebutkan pesanannya. Bibi pelayan itupun segera mencatat pesanan nya dan pergi meninggalkan mereka.

"Kau akan terkejut merasakan pastanya! Ini enak sekali! Harusnya Bibi itu kerja di restorant saja!" kata Reina antusias. Ia lalu tertegun melihat Tan yang memandang tajam ke belakangnya. Karena penasaran, iapun berniat menoleh.

"Kau lihat ap~" Reina kembali tertegun ketika melihat Zayn dan Karin di belakangnya. Mereka tengah asik berbincang sambil sesekali memandangi layar laptop. Reina mendesah, ia kesal melihatnya.

"Aish! Sekretarismu sepertinya pacaran dengan Zayn!" keluh Reina yang sudah kembali menatap Tan. Tan hanya terdiam dan berusaha tidak melihat Karin dan Zayn lagi.

"Kau suka pada laki-laki itu?" tanya Tan. Reina langsung gugup dan menggaruk-garuk rambutnya.

"Apa yang kau lihat dari laki-laki itu? Apa dia tampan? Menurutku biasa saja! Aku jauh lebih tampan!" gumam Tan percaya diri.

"Dia itu tidak hanya tampan tapi juga baik hati, tidak cerewet dan suka membela kebenaran! Dia tidak suka menindas yang lemah! Tidak seperti mu!" tukas Reina dan Tan langsung cemberut.

"Ku kira kau menyukai lelaki jelek berambut cepak dan berkacamata bernama Tara itu!" gerutu Tan.

"Heh! Dia memang berkacamata dan berambut cepak tapi dia tidak jelek!" sungut Reina tak terima, Tan langsung menatapnya curiga.

"Kau ini sebenarnya suka pada siapa hah?!" volume suara Tan mulai meninggi. "Apa urusannya denganmu hah?! Aku suka pada siapa saja itu bukan urusanmu!" balas Reina yang suaranya ikut meninggi.

"Kau memuji-muji lelaki itu tapi kau juga tidak mau aku menjelek-jelekkan si rambut cepak itu! Apa kau menyukai keduanya?!"

"Kalau iya kenapa?!"

"Bagaimana bisa tipe mu seperti itu?! Kau benar-benar tidak tau caranya memilih lelaki! Harusnya kau pilih lelaki yang seperti aku?! Walaupun tidak ada yang sesempurna aku setidaknya yang sedikit di bawahku!"

"Berhenti menyombongkan dirimu di depanku! Di bandingkan mereka berdua, kau seperti kotoran di kuku tau!"

"Apa?!" Tan meradang. Dan tanpa mereka sadari, adu mulut mereka sudah di dengar oleh semua penghuni kantin tak terkecuali Zayn dan Karin yang terbengong-bengong melihatnya.

"Apa maksudmu dengan kotoran kuku hah?! Beraninya kau menyamakanku dengan kotoran kuku! Aku ini harta nasional yang paling berharga tau!"

"Harta nasional apa?! Kau hanya bisa mengoceh dan mengata-ngatai orang! Kau berandalan yang patut di musnahkan dari muka bumi ini!"

"Heh! Kau..." Tan tertegun dan seketika menghentikan ocehannya. Ia baru sadar bahwa ternyata dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang. Termasuk Karin dan Zayn.

"Hah! Terserah saja! Aku pergi!" seru Tan kesal kemudian pergi meninggalkan kantin. Semua menatapnya dengan wajah terheran-heran. Reina yang di tinggalkan hanya bisa mengumpat kelakuan sepupunya itu.

Sementara Karin, ia nampak berpikir.

"Sedang apa dia disini? Apa dia sengaja datang untuk memastikan aku menipunya atau tidak? Hah.. Kenapa dia jadi over protectiv begitu?!" gumam Karin dalam hati.

***

Tan memacu langkahnya dengan cepat. Ia benar-benar kesal dan ingin membunuh seseorang saat ini. Berdebat dengan Reina membuatnya gila. Terlebih melihat keakraban Karin dengan Zayn yang semakin membuatnya panas.

"Reina lebih parah dari gadis itu! Bisa-bisanya dia memuji-muji lelaki itu dan menyamakanku dengan kotoran kuku! Aish! Tidak masalah kalau dia membela si rambut cepak tapi aku tidak bisa terima ketika dia melebih-lebihkan si Zayn itu! Aish! Apa bagusnya dia? Dia hanya anak kuliahan yang belum tentu kaya raya, dibandingkan denganku, aku jauh lebih baik! Dan kenapa juga di sekretaris bodoh itu berdua-duaan dengannya?! Membuatku panas saja!" gerutu Tan sepanjang perjalanan menuju mobilnya.

Begitu mencapai mobil, Tan bergegas masuk dan langsung mengemudikan mobilnya menjauh.

"Oke! Kau boleh bersenang-senang dengan lelaki itu sekarang tapi tunggulah dimana saatnya kau akan tergila-gila padaku dan bersusah payah mengejar cintaku!" tukas Tan. Karena emosi, ia jadi tidak fokus menyetir.

Sebuah mobil yang melaju di depan mobil Tan tiba-tiba berhenti, Tan langsung menginjak rem dan menghentikan mobilnya tapi tabrakan tak bisa di pungkiri. Mobil Tan sedikit menabrak bagian belakang mobil di depannya dan membuat lampu belakangnya pecah. Tan meringis lalu lekas keluar dari mobil.

"Aish! Siapa yang berani-beraninya menghentikan mobil di depanku hah?!" gerutu Tan kesal sambil berjalan mendekati mobil yang sudah di tabraknya. Dengan kesal, ia langsung mengetuk kaca mobil secara brutal.

Pintu mobil itu terbuka dan Tan menunggu untuk segera mengomelinya. Tapi omelannya itu hilang begitu saja melihat siapa yang keluar dari mobil itu.

"Alena.."

"Daniel.. Ternyata kau.." Alena tersenyum manis. Padahal sebelumnya ia sangat marah dengan orang yang menabrak mobilnya tapi begitu melihat orang itu adalah Tan. Ia malah menjadi sangat senang.

"Ada apa denganmu? Kenapa menghentikan mobil di tengah jalan? Untung tabrakannya tidak keras!" gerutu Tan. Sebenarnya omelannya masih panjang tapi ia hanya mengeluarkan seperempat nya saja.

Alena tersenyum lalu menunjuk sesuatu di belakang Tan. Tan menoleh, ia terkecoh mendapati lampu lalu lintas di belakangnya.

"Ah.. Aku tidak lihat.." gumam Tan. Alena kembali tersenyum.

"Sebaiknya kita segera pergi sebelum ada polisi lalu lintas yang datang.." kata Alena dan bergegas masuk ke mobilnya.

"Kau harus mengantarku ke bengkel.." ucap Alena dan Tan terpaksa mengangguk. Ia kemudian kembali masuk ke mobilnya dan setelah lampu lalu lintas menyala hijau, ia menyetir mendahului Alena, menunjukkan bengkel untuk memperbaiki mobil Alena.
READ MORE - Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #25

Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #24

"Apa yang kalian lakukan?!"

Teriakan Ibu Tan yang sangat kaget dengan apa yang dilihatnya itu seketika menyadarkan Tan dan juga Karin. Tan segera menyingkir dari Karin dan lekas berdiri dengan wajah kalut sementara Karinpun ikut berdiri, kepalanya tertunduk dalam. Kali ini ia bukan hanya malu tapi juga ketakutan.

"Ibu, jangan percaya dengan apa yang Ibu lihat! Ini hanya ilusi.." ujar Tan dalam hati. Ia lalu melirik Karin yang benar-benar ketakutan disampingnya sementara dirinya sendiri berusaha untuk tetap tenang, padahal jantungnya sendiri berdegup tak karuan.

Ibu Tan memandang anaknya dan juga Karin dengan tatapan seolah ingin menerkam keduanya.

"Tan! Kita harus bicara!" seru Ibu Tan seraya melangkah mendekati tempat Tan dan Karin terdiam. Tan langsung memberi kode pada Karin untuk meninggalkannya bersama Ibunya.

Karin lekas pergi setelah sempat membungkuk pertanda pamit pada Ibu Tan. Gadis itu hanya dapat berdoa dalam hati, semoga dirinya tidak di pecat.

Ibu Tan memandang tajam kearah Karin bahkan sampai gadis itu keluar dan menutup pintu.

"Ibu.. Duduklah dulu.." ajak Tan sambil merangkul Ibunya dan menuntunnya duduk di sofa. Ibu Tan menurut tapi tatapannya masih tetap mengerikan.

"Bagaimana kau menjelaskan semua ini heum?" tanya Ibu Tan. Tan memasang cengiran di wajahnya lalu duduk di depan Ibunya. Tangannya menggaruk tengkuk, berusaha mencari alasan yang masuk akal. Ibunya masih menanti dengan tatapan tajam.

"Siapa gadis itu? Sekretaris barumu?" pertanyaan Ibunya membuat Tan mengangguk.

"Kau tidak mau dijodohkan dengan Alena karena berhubungan dengannya?"

"Bu-bukan! Bukan begitu Ibu! Ibu jangan salah paham padaku!"

"Lalu apa? Apa yang kau lakukan dengannya tadi hah? Apa ini kerjaanmu selama Ibu diluar negeri? Kau main belakang dengan sekretarismu? Di kantor?!" nada suara Ibu mulai meninggi. Tan semakin tersudut tapi dia tidak mau hanya diam, ia harus mendapatkan alasan yang tepat.

"Aku tidak main belakang dengannya Ibu! Dia itu hanya sekretarisku, tidak lebih!"

"Lalu apa yang kalian lakukan tadi hah?!"

"Itu.. Hanya.. Latihan drama!" Oke. Itu alasan yang basi, tapi Tan tetap menaruh harapan besar semoga Ibunya percaya dengan alasan itu.

"Latihan drama? Apa maksudmu?"

"Dia.. Mahasiswi di jurusan Seni dan mengikuti suatu pementasan drama, aku hanya membantunya latihan dan kebetulan adegannya seperti yang Ibu lihat tadi! Sungguh! Tadi aku hanya membantunya latihan!" Tan memasang wajah meyakinkan sementara Ibunya menautkan alis dan memicingkan matanya. Menatap Tan intens, mencari kebenaran dari wajahnya.

"Jangan mencoba membohongi Ibu!"

"Ibu! Aku tidak bohong! Lagipula mana mungkin aku pacaran dengannya? Dia itu bukan tipe ku, dia benar-benar dibawah standar! Mana mungkin aku suka pada gadis seperti itu! Ibu kan tahu sendiri kalau aku hanya menyukai gadis dari kalangan atas! Dia itu jauh sekali.."

Ibu Tan terdiam dan wajahnya yang tadi sangar dan mengerikan perlahan berubah menjadi lebih tenang dan santai. Melihat itu, Tan menghela nafas lega, sepertinya Ibu percaya.

"Baiklah! Ibu rasa kau benar.. Dilihat dari penampilannya saja, gadis itu bukan tipemu! Oke! Jadi yang tadi itu hanya latihan drama? Kau membantunya melakukan adegan itu?"

"Tepat!"

"Baiklah! Tapi, jangan pernah melakukannya lagi, karena kalau orang lain melihatnya, mereka pasti akan mengira yang bukan-bukan dan akibatnya, citra perusahaan kita akan memburuk! Apa jadinya jika ada berita bos yang pacaran dengan sekretarisnya? Itu akan jadi berita yang murahan! Jangan pernah lakukan itu lagi! Kau mengerti?"

Tan mengangguk cepat. Hatinya bersorak lega. Paling tidak, Karin tak akan di pecat.

"Ibu.. Apa yang membawamu kemari?" tanya Tan mengalihkan pembicaraan.

"Ibu hanya ingin memeriksa kantor, sekalian melihat pekerjaanmu! Oh ya.. Apa kau sudah memikirkan masalah perjodohanmu dengan Alena?"

Mendengar pertanyaan Ibunya, Tan kembali tak bersemangat. Ekspresinya langsung berubah malas.

"Ibu, bisakah aku tidak di jodohkan? Aku kan bukan anak laki-laki jelek dan kampungan yang tidak laku!"

"Ibu tau, tapi Ibu ingin kau menikah dengan gadis yang baik sesuai dengan pilihan Ibu! Ibu tidak mau anak Ibu satu-satunya menikah dengan gadis biasa yang bahkan Ibu tidak kenal dengan orang tuanya! Kalau Alena kan sudah pasti cocok denganmu.. Lagipula ini bisa mendongkrak kesuksesan perusahaan! Kau tau kan, Tuan Emrick itu pengusaha sukses yang bisa membuat perusahaan kita bertambah baik!"

"Tapi Ibu.."

"Sudahlah, kau hanya belum mencobanya.. Nanti, ketika kau sudah bertemu Alena dan memulai hubungan spesial dengannya, kau pasti akan berterima kasih pada Ibu karena telah menjodohkanmu dengannya!"

Tan terdiam. Ibunya memang sangat keras kepala dan pemaksa. Ia ingat bagaimana dulu Ibunya memaksa menyekolahkannya ke luar negeri, seberapapun Tan menolak bahkan sampai nekad kabur dari rumah, Ibunya tetap melakukan segala cara hingga berhasil mengirimnya ke luar negeri. Dan Tan yakin, Ibunya juga akan melakukan segala cara untuk menikahkannya dengan Alena. Seberapapun ia menolak.

"Persiapkan dirimu, minggu depan kita akan bertemu Alena dan keluarganya" ucap Ibu Tan sambil tersenyum sementara Tan hanya menunduk menahan kesal,

"Ibu pergi dulu.. Lakukan pekerjaanmu dengan baik! Dan ingat, jangan sampai kau lakukan hal-hal seperti tadi lagi dengan sekretarismu itu! Jika dia minta bantuanmu untuk latihan drama lagi, suruh saja dia latihan dengan cleaning service! Kenapa bos harus membantu sekretarisnya? Dia pasti sengaja minta bantuanmu agar bisa melihat wajahmu lebih dekat! Kau jangan sampai terhasut dengan wanita seperti itu!"

Tan hanya diam. Sebenarnya hatinya panas juga mendengar ocehan Ibunya yang begitu memojokkan Karin.

"Ya sudah.. Ibu pergi dulu.." pamit Ibunya dan segera melangkah keluar.

***

Karin terkesiap ketika melihat Ibu Tan keluar, iapun langsung berdiri dan menunduk tanda hormat sementara Ibu Tan menatapnya sinis.

"Jika kau mau latihan drama lagi, ajak saja orang lain! Jangan putraku! Mengerti?"

Karin mengernyitkan dahi mendengar ucapan Ibu Tan. Tapi kepalanya terangguk juga, pura-pura mengerti padahal ia tak mengerti sama sekali.

Ibu Tan bergegas pergi masih dengan wajah judesnya.

"Latihan drama? Drama apa?" gumam Karin bingung.

Beberapa saat setelah Ibunya pergi, Tan keluar dari ruangannya dan menghampiri Karin di mejanya.

"Apa.. Aku di pecat?" tanya Karin takut-takut. Tan memasang tampang 'no coment' yang membuat Karin kesal.

"Heh! Aku tanya padamu!"

"Menurutmu bagaimana? Kau di pecat tidak?"

"Bagaimana aku tahu? Yang bicara dengan Ibu mu kan kau sendiri!"

"Kau tidak akan di pecat! Tenang saja.."

"Benarkah?" Karin nampak tak yakin namun setelah Tan mengangguk memastikan, senyum Karin merekah. Hatinya lega sekali dan ia sangat bahagia.

"Berterimakasihlah padaku, berkat akal pintar ku, kau tidak di pecat!"

"Oh, aku mengerti sekarang! Kau bilang pada Ibu mu bahwa kita sedang latihan drama, iyakan?" Tan menganggukkan kepalanya.

"Wah! Itu alasan yang ketinggalah jaman, tapi Ibu mu percaya! Syukurlah.." gumam Karin sumringah. Tan meliriknya dengan ekor mata.

"Mana ucapan terimakasih mu?" tegur Tan membuat Karin menatap kearahnya.

"Baiklah.. Terimakasih Tan.. Kau memang hebat!" ucap Karin tulus.

"Kau tau kan, tidak ada yang gratis di dunia ini?"

Senyum Karin langsung lenyap mendengar ucapan Tan. Pandangannya langsung berubah kesal.

"Maksudmu apa? Apa aku harus bayar padamu karena Ibumu tidak jadi memecatku?! Hey.. Aku hampir di pecat karena ulahmu! Kau sudah kali membuatku di anggap sebagai sekretaris penggoda bosnya!"

"Heh! Kalau bukan karna kau memukulku, aku juga tidak akan melakukan itu! Lagipula tadi itu benar-benar bukan unsur kesengajaan! Aku hanya melindungi diri, kau selalu memukulku! Ku kira dengan membuatmu tak berkutik kau akan berhenti memukulku! Jadi itu salahmu bukan salahku!"

"Kau benar-benar menyebalkan ya? Mana boleh menumpahkan kesalahan pada gadis tak berdosa sepertiku!"

"Cih, gadis tak berdosa! Memangnya kau bayi yang baru keluar dari perut Ibumu hah?! Di usia mu yang sudah tua itu, sudah berapa banyak dosa yang kau lakukan?! Masih mengaku sebagai gadis tak berdosa! Cih!"

"Heh! Setidaknya aku lebih baik darimu!"

"Apanya yang lebih baik! Dengar ya, jangan mencoba membandingkan dirimu dengan orang sepertiku! Kau tidak akan bisa berada diatasku! Sudahlah, traktir aku makan!"

Karin mengernyit mendengar kalimat terakhir Tan. Lelaki itu malah mengalihkan pandangannya dan bersikap cuek.

"Kenapa aku harus mentraktirmu? Memangnya aku Ibumu?"

"Kalau kau Ibuku, aku tidak akan setampan ini! Sudah! Jangan banyak bicara! Kau harus mentraktirku karena aku sudah menyelamatkanmu dari ancaman kehilangan pekerjaan! Ibuku bisa saja langsung memecatmu tadi kalau saja aku tidak memutar otak mencari alasan! Ucapan terimakasih saja tidak cukup!"

Karin menatap keki kearah Tan yang benar-benar menyebalkan. Ia tak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang satu ini. Seumur hidup baru kali ini bertemu orang seperti Tan dan sial sekali harus berurusan dengannya.

"Ya sudah! Karena kau memaksa, aku akan mentraktirmu Ice cream!" seru Karin dengan wajah sumringah. Ekspresi Tan langsung berubah kaget.

"Apa? Ice cream? Heh! Berapa umurmu? Makan Ice cream!? Kekanakan sekali, aku tidak mau! Traktir aku sapi panggang atau setidaknya ayam panggang!"

"Kau ini materialistik sekali! Aku mana punya uang untuk mentraktirmu makanan mahal! Aku sedang krisis ekonomi! Mengertilah sedikit, sudah untuk aku mau mentraktirmu!"

"Tapi jangan Ice cream juga! Aku tidak suka makan makanan anak-anak seperti itu!"

"Ya sudah kalau kau tidak mau! Aku juga tidak akan memaksa! Minta traktir saja pada orang lain! Aku ini gadis miskin yang tidak punya uang banyak! Kau tidak mengerti sama sekali! Jangankan mentraktirmu sapi panggang, aku sendiri saja tidak pernah makan.." Karin menundukkan kepalanya membuat Tan merasa tak enak. Sepertinya, ia sudah banyak menuntut."Ah! Baiklah! Traktir aku Ice cream!" ucap Tan sambil berjalan meninggalkan meja Karin. Karin mengangkat wajahnya dan tersenyum sumringah. Ia lalu lekas menyusul Tan yang sudah hampir mencapai lift.

"Hey.. Apa kita harus pergi sekarang?" tanya Karin begitu ia dan Tan sudah berdiri berdampingan di dalam lift.

"Memangnya kenapa?"

"Kau tidak ada pekerjaan?"

"Kau kan sekretarisku, tentu kau yang lebih tau!"

"Hehe, seingatku tidak ada jadwal rapat atau bertemu client" ujar Karin cengengesan. Tan tersenyum kecil.

"Oh ya.. Kalau dilihat Ibumu bagaimana?!" tanya Karin yang tiba-tiba panik. Tan langsung mendengus kearahnya.

"Aku pergi dengan sekretarisku, katakan saja ini urusan pekerjaan! Kau ini bodoh sekali! Usahakan mencuci otak tiga kali sehari supaya pikiranmu itu jernih!" celoteh Tan dan Karin langsung diam dengan bibir mengerucut.

***

"Paman.. Ice creamnya dua ya.. Rasa coklat!" pesan Karin dengan wajah sumringah pada seorang penjual Ice cream. Tan melongo tak percaya. Ia dan Karin kini ada di sebuah taman kota dan Tan tak menyangka Karin akan membelikannya Ice cream disini.

"Heh! Kau gila?! Aku pikir kau akan mentraktirku makan Ice cream di cafe atau sejenisnya! Kenapa malah di tukang Ice cream keliling begini? Mau di taruh dimana wajah tampanku hah? Nanti kalau wajahku yang sedang membeli Ice cream muncul di koran bagaimana? Ibuku bisa shock!"

Karin mendesis jengkel mendengar ocehan Tan yang disertai rasa percaya dirinya yang berlebihan. Ia lalu mendengus sambil memukul lengan bosnya itu.

"Kau ini jangan terlalu banyak menghayal! Memangnya kau selebritis hah?!"

"Aku ini lebih dari sekedar selebritis! Masa makan Ice cream disini? Apa-apaan ini?!" Tan menggerutu. Karin mengabaikannya.

"Ini Ice creamnya nona.." ucap penjual Ice cream sambil menyerahkan dua bungkus Ice cream rasa coklat. Karin menerimanya dengan senyum merekah seperti anak-anak. Tan mendesis tak percaya.

"Bagaimana bisa kau bersikap seperti itu di usiamu yang sudah tua itu hah?!" gerutunya dan Karin hanya mendelik tanpa bicara apapun. Ia langsung mengeluarkan uang nya dan membayar pada penjual Ice cream.

"Terimakasih Paman.. Semoga daganganmu hari ini laris.." ucap Karin yang dibalas senyum penjual Ice cream. Tan mencibir.

"Ayo pergi! Kita duduk disana saja.." ajak Karin sambil menunjuk sebuah bangku taman tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tan hanya menurut dengan wajah malas.

"Ini! Makanlah pelan-pelan.." ujar Karin seraya menyerahkan satu bungkus Ice cream untuk Tan yang telah duduk di sampingnya.

"Kau menasehatiku seolah aku ini anak kecil yang tidak tau caranya makan Ice cream!" sungut Tan seraya menyambar Ice cream yang disodorkan Karin. Karin hanya tersenyum lalu mulai menikmati Ice creamnya.

"Eum.. Ini enak sekali.." gumam Karin sambil tersenyum. Tan meliriknya dan tersenyum mencibir.

"Persis anak kecil!"

"Heh.. Cepat dimakan, nanti meleleh.." ujar Karin pada Tan yang sudah membuka bungkus Ice cream tapi belum melahapnya. Tan hanya mendesis lalu mulai melumat makanan dingin itu.

"Ini benar-benar traktiran paling murahan yang pernah ku terima" sungut Tan. Karin meliriknya keki.

"Heh! Bersyukurlah! Apapun yang kau makan, kau harus mensyukurinya!" sahut Karin kesal. Tan hanya manggut-manggut dan tiba-tiba tertegun menatap Karin yang asik makan.

Bibir gadis itu belepotan Ice cream dan entah kenapa, Tan tidak bisa melepaskan tatapannya dari bibir gadis itu. Jantungnya berdebar-debar. Ribuan setan sepertinya mulai menggodanya dan Tan hanya mampu menelan ludah. Ice creamnya ia biarkan meleleh begitu saja. Karin yang sedang asik melumat Ice cream tidak menyadari bahwa dirinya sedang dipandangi seperti itu oleh Tan.

Tan menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menolak hasutan setan yang membuatnya tidak tahan ingin..

"Heh! Kau kenapa?" tanya Karin yang menoleh dan melihat gelagat aneh Tan. Tan terdiam menatapnya.

"Hey.. Ada apa denganmu?" tanya Karin yang mulai risih dengan tatapan Tan. Ia sedikit menggeser duduknya, menjaga jarak dengan lelaki itu.

"Tan.. Ice creammu meleleh.." ucap Karin yang semakin risih. Tan tak bergeming dan masih menatapnya. Jantung Karin berdebar keras dan ia tak tau bahwa Tan pun mengalami hal yang sama.

"Ah! Ice creamku sudah habis!" teriak Karin sambil memakan sisa Ice creamnya sekaligus lalu bangkit berdiri. Tan terhenyak, sepertinya ia baru tersadar dari pesona gadis itu.

"Huah.. Bajuku..!!" teriak Tan yang melihat bajunya kotor terkena lelahan Ice cream coklat. Karin menoleh kearahnya dan tertawa melihat kehebohan lelaki itu.

"Makanya! Saat makan Ice cream, jangan melamun!" seru Karin dengan senyum puas lalu melangkah pergi menjauhi Tan. Tan melihatnya dengan tatapan kesal.

"Heh! Berhenti disana!" serunya lalu bergegas menyusul Karin.
READ MORE - Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #24