Nuansa Remaja

Blog Remaja Indonesia

Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #24

"Apa yang kalian lakukan?!"

Teriakan Ibu Tan yang sangat kaget dengan apa yang dilihatnya itu seketika menyadarkan Tan dan juga Karin. Tan segera menyingkir dari Karin dan lekas berdiri dengan wajah kalut sementara Karinpun ikut berdiri, kepalanya tertunduk dalam. Kali ini ia bukan hanya malu tapi juga ketakutan.

"Ibu, jangan percaya dengan apa yang Ibu lihat! Ini hanya ilusi.." ujar Tan dalam hati. Ia lalu melirik Karin yang benar-benar ketakutan disampingnya sementara dirinya sendiri berusaha untuk tetap tenang, padahal jantungnya sendiri berdegup tak karuan.

Ibu Tan memandang anaknya dan juga Karin dengan tatapan seolah ingin menerkam keduanya.

"Tan! Kita harus bicara!" seru Ibu Tan seraya melangkah mendekati tempat Tan dan Karin terdiam. Tan langsung memberi kode pada Karin untuk meninggalkannya bersama Ibunya.

Karin lekas pergi setelah sempat membungkuk pertanda pamit pada Ibu Tan. Gadis itu hanya dapat berdoa dalam hati, semoga dirinya tidak di pecat.

Ibu Tan memandang tajam kearah Karin bahkan sampai gadis itu keluar dan menutup pintu.

"Ibu.. Duduklah dulu.." ajak Tan sambil merangkul Ibunya dan menuntunnya duduk di sofa. Ibu Tan menurut tapi tatapannya masih tetap mengerikan.

"Bagaimana kau menjelaskan semua ini heum?" tanya Ibu Tan. Tan memasang cengiran di wajahnya lalu duduk di depan Ibunya. Tangannya menggaruk tengkuk, berusaha mencari alasan yang masuk akal. Ibunya masih menanti dengan tatapan tajam.

"Siapa gadis itu? Sekretaris barumu?" pertanyaan Ibunya membuat Tan mengangguk.

"Kau tidak mau dijodohkan dengan Alena karena berhubungan dengannya?"

"Bu-bukan! Bukan begitu Ibu! Ibu jangan salah paham padaku!"

"Lalu apa? Apa yang kau lakukan dengannya tadi hah? Apa ini kerjaanmu selama Ibu diluar negeri? Kau main belakang dengan sekretarismu? Di kantor?!" nada suara Ibu mulai meninggi. Tan semakin tersudut tapi dia tidak mau hanya diam, ia harus mendapatkan alasan yang tepat.

"Aku tidak main belakang dengannya Ibu! Dia itu hanya sekretarisku, tidak lebih!"

"Lalu apa yang kalian lakukan tadi hah?!"

"Itu.. Hanya.. Latihan drama!" Oke. Itu alasan yang basi, tapi Tan tetap menaruh harapan besar semoga Ibunya percaya dengan alasan itu.

"Latihan drama? Apa maksudmu?"

"Dia.. Mahasiswi di jurusan Seni dan mengikuti suatu pementasan drama, aku hanya membantunya latihan dan kebetulan adegannya seperti yang Ibu lihat tadi! Sungguh! Tadi aku hanya membantunya latihan!" Tan memasang wajah meyakinkan sementara Ibunya menautkan alis dan memicingkan matanya. Menatap Tan intens, mencari kebenaran dari wajahnya.

"Jangan mencoba membohongi Ibu!"

"Ibu! Aku tidak bohong! Lagipula mana mungkin aku pacaran dengannya? Dia itu bukan tipe ku, dia benar-benar dibawah standar! Mana mungkin aku suka pada gadis seperti itu! Ibu kan tahu sendiri kalau aku hanya menyukai gadis dari kalangan atas! Dia itu jauh sekali.."

Ibu Tan terdiam dan wajahnya yang tadi sangar dan mengerikan perlahan berubah menjadi lebih tenang dan santai. Melihat itu, Tan menghela nafas lega, sepertinya Ibu percaya.

"Baiklah! Ibu rasa kau benar.. Dilihat dari penampilannya saja, gadis itu bukan tipemu! Oke! Jadi yang tadi itu hanya latihan drama? Kau membantunya melakukan adegan itu?"

"Tepat!"

"Baiklah! Tapi, jangan pernah melakukannya lagi, karena kalau orang lain melihatnya, mereka pasti akan mengira yang bukan-bukan dan akibatnya, citra perusahaan kita akan memburuk! Apa jadinya jika ada berita bos yang pacaran dengan sekretarisnya? Itu akan jadi berita yang murahan! Jangan pernah lakukan itu lagi! Kau mengerti?"

Tan mengangguk cepat. Hatinya bersorak lega. Paling tidak, Karin tak akan di pecat.

"Ibu.. Apa yang membawamu kemari?" tanya Tan mengalihkan pembicaraan.

"Ibu hanya ingin memeriksa kantor, sekalian melihat pekerjaanmu! Oh ya.. Apa kau sudah memikirkan masalah perjodohanmu dengan Alena?"

Mendengar pertanyaan Ibunya, Tan kembali tak bersemangat. Ekspresinya langsung berubah malas.

"Ibu, bisakah aku tidak di jodohkan? Aku kan bukan anak laki-laki jelek dan kampungan yang tidak laku!"

"Ibu tau, tapi Ibu ingin kau menikah dengan gadis yang baik sesuai dengan pilihan Ibu! Ibu tidak mau anak Ibu satu-satunya menikah dengan gadis biasa yang bahkan Ibu tidak kenal dengan orang tuanya! Kalau Alena kan sudah pasti cocok denganmu.. Lagipula ini bisa mendongkrak kesuksesan perusahaan! Kau tau kan, Tuan Emrick itu pengusaha sukses yang bisa membuat perusahaan kita bertambah baik!"

"Tapi Ibu.."

"Sudahlah, kau hanya belum mencobanya.. Nanti, ketika kau sudah bertemu Alena dan memulai hubungan spesial dengannya, kau pasti akan berterima kasih pada Ibu karena telah menjodohkanmu dengannya!"

Tan terdiam. Ibunya memang sangat keras kepala dan pemaksa. Ia ingat bagaimana dulu Ibunya memaksa menyekolahkannya ke luar negeri, seberapapun Tan menolak bahkan sampai nekad kabur dari rumah, Ibunya tetap melakukan segala cara hingga berhasil mengirimnya ke luar negeri. Dan Tan yakin, Ibunya juga akan melakukan segala cara untuk menikahkannya dengan Alena. Seberapapun ia menolak.

"Persiapkan dirimu, minggu depan kita akan bertemu Alena dan keluarganya" ucap Ibu Tan sambil tersenyum sementara Tan hanya menunduk menahan kesal,

"Ibu pergi dulu.. Lakukan pekerjaanmu dengan baik! Dan ingat, jangan sampai kau lakukan hal-hal seperti tadi lagi dengan sekretarismu itu! Jika dia minta bantuanmu untuk latihan drama lagi, suruh saja dia latihan dengan cleaning service! Kenapa bos harus membantu sekretarisnya? Dia pasti sengaja minta bantuanmu agar bisa melihat wajahmu lebih dekat! Kau jangan sampai terhasut dengan wanita seperti itu!"

Tan hanya diam. Sebenarnya hatinya panas juga mendengar ocehan Ibunya yang begitu memojokkan Karin.

"Ya sudah.. Ibu pergi dulu.." pamit Ibunya dan segera melangkah keluar.

***

Karin terkesiap ketika melihat Ibu Tan keluar, iapun langsung berdiri dan menunduk tanda hormat sementara Ibu Tan menatapnya sinis.

"Jika kau mau latihan drama lagi, ajak saja orang lain! Jangan putraku! Mengerti?"

Karin mengernyitkan dahi mendengar ucapan Ibu Tan. Tapi kepalanya terangguk juga, pura-pura mengerti padahal ia tak mengerti sama sekali.

Ibu Tan bergegas pergi masih dengan wajah judesnya.

"Latihan drama? Drama apa?" gumam Karin bingung.

Beberapa saat setelah Ibunya pergi, Tan keluar dari ruangannya dan menghampiri Karin di mejanya.

"Apa.. Aku di pecat?" tanya Karin takut-takut. Tan memasang tampang 'no coment' yang membuat Karin kesal.

"Heh! Aku tanya padamu!"

"Menurutmu bagaimana? Kau di pecat tidak?"

"Bagaimana aku tahu? Yang bicara dengan Ibu mu kan kau sendiri!"

"Kau tidak akan di pecat! Tenang saja.."

"Benarkah?" Karin nampak tak yakin namun setelah Tan mengangguk memastikan, senyum Karin merekah. Hatinya lega sekali dan ia sangat bahagia.

"Berterimakasihlah padaku, berkat akal pintar ku, kau tidak di pecat!"

"Oh, aku mengerti sekarang! Kau bilang pada Ibu mu bahwa kita sedang latihan drama, iyakan?" Tan menganggukkan kepalanya.

"Wah! Itu alasan yang ketinggalah jaman, tapi Ibu mu percaya! Syukurlah.." gumam Karin sumringah. Tan meliriknya dengan ekor mata.

"Mana ucapan terimakasih mu?" tegur Tan membuat Karin menatap kearahnya.

"Baiklah.. Terimakasih Tan.. Kau memang hebat!" ucap Karin tulus.

"Kau tau kan, tidak ada yang gratis di dunia ini?"

Senyum Karin langsung lenyap mendengar ucapan Tan. Pandangannya langsung berubah kesal.

"Maksudmu apa? Apa aku harus bayar padamu karena Ibumu tidak jadi memecatku?! Hey.. Aku hampir di pecat karena ulahmu! Kau sudah kali membuatku di anggap sebagai sekretaris penggoda bosnya!"

"Heh! Kalau bukan karna kau memukulku, aku juga tidak akan melakukan itu! Lagipula tadi itu benar-benar bukan unsur kesengajaan! Aku hanya melindungi diri, kau selalu memukulku! Ku kira dengan membuatmu tak berkutik kau akan berhenti memukulku! Jadi itu salahmu bukan salahku!"

"Kau benar-benar menyebalkan ya? Mana boleh menumpahkan kesalahan pada gadis tak berdosa sepertiku!"

"Cih, gadis tak berdosa! Memangnya kau bayi yang baru keluar dari perut Ibumu hah?! Di usia mu yang sudah tua itu, sudah berapa banyak dosa yang kau lakukan?! Masih mengaku sebagai gadis tak berdosa! Cih!"

"Heh! Setidaknya aku lebih baik darimu!"

"Apanya yang lebih baik! Dengar ya, jangan mencoba membandingkan dirimu dengan orang sepertiku! Kau tidak akan bisa berada diatasku! Sudahlah, traktir aku makan!"

Karin mengernyit mendengar kalimat terakhir Tan. Lelaki itu malah mengalihkan pandangannya dan bersikap cuek.

"Kenapa aku harus mentraktirmu? Memangnya aku Ibumu?"

"Kalau kau Ibuku, aku tidak akan setampan ini! Sudah! Jangan banyak bicara! Kau harus mentraktirku karena aku sudah menyelamatkanmu dari ancaman kehilangan pekerjaan! Ibuku bisa saja langsung memecatmu tadi kalau saja aku tidak memutar otak mencari alasan! Ucapan terimakasih saja tidak cukup!"

Karin menatap keki kearah Tan yang benar-benar menyebalkan. Ia tak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang satu ini. Seumur hidup baru kali ini bertemu orang seperti Tan dan sial sekali harus berurusan dengannya.

"Ya sudah! Karena kau memaksa, aku akan mentraktirmu Ice cream!" seru Karin dengan wajah sumringah. Ekspresi Tan langsung berubah kaget.

"Apa? Ice cream? Heh! Berapa umurmu? Makan Ice cream!? Kekanakan sekali, aku tidak mau! Traktir aku sapi panggang atau setidaknya ayam panggang!"

"Kau ini materialistik sekali! Aku mana punya uang untuk mentraktirmu makanan mahal! Aku sedang krisis ekonomi! Mengertilah sedikit, sudah untuk aku mau mentraktirmu!"

"Tapi jangan Ice cream juga! Aku tidak suka makan makanan anak-anak seperti itu!"

"Ya sudah kalau kau tidak mau! Aku juga tidak akan memaksa! Minta traktir saja pada orang lain! Aku ini gadis miskin yang tidak punya uang banyak! Kau tidak mengerti sama sekali! Jangankan mentraktirmu sapi panggang, aku sendiri saja tidak pernah makan.." Karin menundukkan kepalanya membuat Tan merasa tak enak. Sepertinya, ia sudah banyak menuntut."Ah! Baiklah! Traktir aku Ice cream!" ucap Tan sambil berjalan meninggalkan meja Karin. Karin mengangkat wajahnya dan tersenyum sumringah. Ia lalu lekas menyusul Tan yang sudah hampir mencapai lift.

"Hey.. Apa kita harus pergi sekarang?" tanya Karin begitu ia dan Tan sudah berdiri berdampingan di dalam lift.

"Memangnya kenapa?"

"Kau tidak ada pekerjaan?"

"Kau kan sekretarisku, tentu kau yang lebih tau!"

"Hehe, seingatku tidak ada jadwal rapat atau bertemu client" ujar Karin cengengesan. Tan tersenyum kecil.

"Oh ya.. Kalau dilihat Ibumu bagaimana?!" tanya Karin yang tiba-tiba panik. Tan langsung mendengus kearahnya.

"Aku pergi dengan sekretarisku, katakan saja ini urusan pekerjaan! Kau ini bodoh sekali! Usahakan mencuci otak tiga kali sehari supaya pikiranmu itu jernih!" celoteh Tan dan Karin langsung diam dengan bibir mengerucut.

***

"Paman.. Ice creamnya dua ya.. Rasa coklat!" pesan Karin dengan wajah sumringah pada seorang penjual Ice cream. Tan melongo tak percaya. Ia dan Karin kini ada di sebuah taman kota dan Tan tak menyangka Karin akan membelikannya Ice cream disini.

"Heh! Kau gila?! Aku pikir kau akan mentraktirku makan Ice cream di cafe atau sejenisnya! Kenapa malah di tukang Ice cream keliling begini? Mau di taruh dimana wajah tampanku hah? Nanti kalau wajahku yang sedang membeli Ice cream muncul di koran bagaimana? Ibuku bisa shock!"

Karin mendesis jengkel mendengar ocehan Tan yang disertai rasa percaya dirinya yang berlebihan. Ia lalu mendengus sambil memukul lengan bosnya itu.

"Kau ini jangan terlalu banyak menghayal! Memangnya kau selebritis hah?!"

"Aku ini lebih dari sekedar selebritis! Masa makan Ice cream disini? Apa-apaan ini?!" Tan menggerutu. Karin mengabaikannya.

"Ini Ice creamnya nona.." ucap penjual Ice cream sambil menyerahkan dua bungkus Ice cream rasa coklat. Karin menerimanya dengan senyum merekah seperti anak-anak. Tan mendesis tak percaya.

"Bagaimana bisa kau bersikap seperti itu di usiamu yang sudah tua itu hah?!" gerutunya dan Karin hanya mendelik tanpa bicara apapun. Ia langsung mengeluarkan uang nya dan membayar pada penjual Ice cream.

"Terimakasih Paman.. Semoga daganganmu hari ini laris.." ucap Karin yang dibalas senyum penjual Ice cream. Tan mencibir.

"Ayo pergi! Kita duduk disana saja.." ajak Karin sambil menunjuk sebuah bangku taman tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tan hanya menurut dengan wajah malas.

"Ini! Makanlah pelan-pelan.." ujar Karin seraya menyerahkan satu bungkus Ice cream untuk Tan yang telah duduk di sampingnya.

"Kau menasehatiku seolah aku ini anak kecil yang tidak tau caranya makan Ice cream!" sungut Tan seraya menyambar Ice cream yang disodorkan Karin. Karin hanya tersenyum lalu mulai menikmati Ice creamnya.

"Eum.. Ini enak sekali.." gumam Karin sambil tersenyum. Tan meliriknya dan tersenyum mencibir.

"Persis anak kecil!"

"Heh.. Cepat dimakan, nanti meleleh.." ujar Karin pada Tan yang sudah membuka bungkus Ice cream tapi belum melahapnya. Tan hanya mendesis lalu mulai melumat makanan dingin itu.

"Ini benar-benar traktiran paling murahan yang pernah ku terima" sungut Tan. Karin meliriknya keki.

"Heh! Bersyukurlah! Apapun yang kau makan, kau harus mensyukurinya!" sahut Karin kesal. Tan hanya manggut-manggut dan tiba-tiba tertegun menatap Karin yang asik makan.

Bibir gadis itu belepotan Ice cream dan entah kenapa, Tan tidak bisa melepaskan tatapannya dari bibir gadis itu. Jantungnya berdebar-debar. Ribuan setan sepertinya mulai menggodanya dan Tan hanya mampu menelan ludah. Ice creamnya ia biarkan meleleh begitu saja. Karin yang sedang asik melumat Ice cream tidak menyadari bahwa dirinya sedang dipandangi seperti itu oleh Tan.

Tan menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menolak hasutan setan yang membuatnya tidak tahan ingin..

"Heh! Kau kenapa?" tanya Karin yang menoleh dan melihat gelagat aneh Tan. Tan terdiam menatapnya.

"Hey.. Ada apa denganmu?" tanya Karin yang mulai risih dengan tatapan Tan. Ia sedikit menggeser duduknya, menjaga jarak dengan lelaki itu.

"Tan.. Ice creammu meleleh.." ucap Karin yang semakin risih. Tan tak bergeming dan masih menatapnya. Jantung Karin berdebar keras dan ia tak tau bahwa Tan pun mengalami hal yang sama.

"Ah! Ice creamku sudah habis!" teriak Karin sambil memakan sisa Ice creamnya sekaligus lalu bangkit berdiri. Tan terhenyak, sepertinya ia baru tersadar dari pesona gadis itu.

"Huah.. Bajuku..!!" teriak Tan yang melihat bajunya kotor terkena lelahan Ice cream coklat. Karin menoleh kearahnya dan tertawa melihat kehebohan lelaki itu.

"Makanya! Saat makan Ice cream, jangan melamun!" seru Karin dengan senyum puas lalu melangkah pergi menjauhi Tan. Tan melihatnya dengan tatapan kesal.

"Heh! Berhenti disana!" serunya lalu bergegas menyusul Karin.


Artikel Menarik Lainnya

0 Responses to “Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #24”

Posting Komentar