Tampilkan postingan dengan label Terbaru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terbaru. Tampilkan semua postingan
Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #25
"Hari ini aku kuliah! Yayy!" Karin memekik kesenangan sambil memasukkan buku-buku tebalnya ke dalam tas. Dibandingkan pergi kerja, Karin memang jauh lebih semangat pergi kuliah. Disana ia serasa terbebas dari Tan yang super cerewet, menurutnya.
Setelah mengemas tas, gadis itu bergegas keluar rumah. Usai mengunci pintu rumah nya yang kosong, ia pun segera melangkah menyusuri trotoar. Ia akan naik bis hari ini untuk menghemat biaya.
Karin asik dengan ponselnya, berniat mengetikkan sms untuk Gracia, namun belum sempat sms itu terkirim, sebuah panggilan sudah masuk ke ponselnya dengan name kontak 'Bos seTan'. Karin mendengus lalu dengan kesal menjawab telfonnya.
"Aku tidak masuk hari ini, aku ada kuliah! Kuliahku sampai sore!" celetuk Karin. Beberapa saat kemudian, ia langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Teriakan Tan melengking dahsyat dan mengerikan.
"Tidak bisa!!"
"Apa nya yang tidak bisa? Kau sendiri kan yang bilang, aku boleh datang kapanpun sepulang kuliah dan hari ini aku pulang tepat saat jam kerjaku berakhir! Masa aku harus datang ke kantor disaat semua orang pulang!" oceh Karin dengan tampang keki.
"Kalau begitu gaji mu ku potong!" tukas Tan. Karin tergelak.
"Hey.. Kau bahkan sudah memberikan gajiku sebelum aku mulai bekerja!"
"Kalau begitu gaji keduamu yang akan ku potong!"
"Heh! Mana boleh begitu!" sungut Karin yang mulai emosi. Ia heran, rasanya setiap kali bicara dengan Tan, bawaannya selalu emosi.
"Kenapa tidak boleh? Aku bosnya! Sudah lah, tidak apa-apa kalau kau tidak masuk hari ini tapi gajimu aku potong setengah!"
"Heh! Kau..." Karin yang hendak melayangkan protes langsung menggeram kesal karena sambungan telfon sudah di putuskan oleh Tan. Gadis itupun menjerit kesal dan berniat membanting ponselnya, namun mengingat itu adalah barang berharga yang sangat penting, ia pun mengurungkan niatnya.
"Aku ada latihan teater hari ini.. Aish! Aku tidak akan ke kantor!" tukas Karin setengah mengeluh kemudian lekas mempercepat langkah menuju halte.
***
Tan bersungut-sungut di depan pintu rumahnya sambil menatap layar ponsel di tangannya. Ia benar-benar kesal karena Karin bersikeras tak mau masuk kerja. Bahkan ancaman potong gaji pun tak mempan untuk gadis itu.
"Lihat saja! Dia pasti akan datang!" tukas Tan yakin.
"Daaaaan!!" teriakan itu membuat Tan melengos. Siapa lagi yang suka memanggil namanya sambil teriak-teriak seperti itu kalau bukan Reina.
Tan menoleh dan melihat sepupunya itu muncul di pintu gerbang rumahnya sambil melambai-lambaikan tangan kearahnya.
"Mau apa kau doraemon?!" teriak Tan sambil bertolak pinggang. Reina hanya tersenyum lalu berjalan mendekatinya.
"Antarkan aku!" seru Reina. Tan mendelik dan mendengus jengkel.
"Kau datang kesini hanya untuk meminta ku mengantarkanmu? Ya ampun.. Siapa kau? Aku tidak kenal!" sungut Tan seraya mendorong bahu Reina dan melangkah melewatinya. Reina mendesis lalu lekas menyusul Tan yang memacu langkah kearah mobilnya.
"Ayolah.. Aku benar-benar butuh tumpangan hari ini.. Pagi-pagi sekali kak Keenan sudah berangkat, Papa tidak pulang dari semalam dan Mama sedang menjenguk Omah.. Aku harus pergi dengan siapa kalau bukan kau?" Reina mulai merengek sambil bergelayut di lengan Tan.
"Heh! Aku tidak punya waktu mengantarmu! Aku harus ke kantor!"
"Kau jahat sekali! Akan ku adukan pada Ibumu.." ancam Reina lalu berlari menuju pintu rumah Tan yang terbuka. Tan melengos jengkel.
"Heh! Baiklah! Aku akan mengantarmu!" teriak Tan dan Reina langsung menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan tersenyum menang.
"Kau puas?!" tanya Tan keki.
"Puas sekali!" sahut Reina tersenyum lebar.
Tan meringis. Menyesali rumahnya yang berada dekat dengan rumah sepupunya itu.
"Cepatlah! Aku harus menemui dosen pagi ini!" seru Reina yang sudah masuk ke dalam mobil. Tan mendesis, kalau dilihat-lihat kelakuan Reina itu mirip sekali dengan Karin.
Bicara soal Karin, Tan jadi berpikir mengenai keuntungan mengantar Reina ke kampus. Dengan begitu, ia bisa sekalian memastikan apa Karin benar-benar ada di kampus atau tidak. Diam-diam, Tan tersenyum kecil.
***
"Zayn!" Karin memekik memanggil Zayn yang tengah berkutat dengan laptopnya di salah satu meja kantin. Lelaki itu menoleh ketika namanya di panggil dan tersenyum ramah pada gadis yang memanggilnya.
Karin bergegas ketempat Zayn duduk dan langsung mengambil tempat di sampingnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Karin sambil menatap layar laptop Zayn.
"Hanya mendownload film.." jawab Zayn. Karin seketika memukul lengannya.
"Hoby mu tidak pernah berubah.." desisnya dan Zayn tertawa kecil.
"Kau sendiri juga tidak pernah merubah hoby mu memukul lenganku!" umpat Zayn. Karin hanya nyengir.
"Eh iya.. Kau ikut teater Putri Tidur kan?" tanya Zayn. Karin mengangguk dengan bibir mengerucut.
"Mamalukan sekali kan? Aku heran kenapa pelatih memilih dongeng anak-anak untuk di pentaskan!"
"Hey.. Dongeng anak-anak apa? Disitu ada adegan kissing nya tau, lebih tepatnya itu dongeng remaja!"
"Kau benar! Dan adegan itu yang paling membuatku merasa sebagai wanita paling sial di dunia ini! Aku harus membiarkan Addy menciumku! Aish!" Karin merutuk. Zayn tersenyum lalu menatapnya serius.
"Kalau yang menciummu itu aku, apa kau masih merasa sebagai gadis paling sial?"
Pertanyaan Zayn seketika membuat Karin tertegun. Apalagi ditambah senyuman Zayn yang manis, Karin jadi salah tingkah sendiri.
"Aish! Jangan bercanda dengan ku pagi-pagi begini!" keluh Karin sambil memukul lagi lengan Zayn. Zayn hanya tertawa sambil mengusap-usap lengannya.
"Hey.. Bolehkah aku menawarkan diri menggantikan Addy untuk memerankan tokoh pangeran?" tanya Zayn. Karin mengangkat alisnya.
"Kau benar-benar ingin menciumku?" tanya Karin setengah bercanda tapi Zayn malah mengangguk pasti. Pipi Karin mendadak panas.
"Hey.. Kau itu anak baru! Mereka tidak akan menerimamu semudah itu!" ujar Karin berusaha mengalihkan kegugupannya.
"Siapa bilang? Meskipun aku baru, aku tau banyak tentang cerita Putri tidur! Aku bisa mendalami karakter pangeran dengan sangat baik! Aku yakin, kalau aku menawarkan diri, mereka akan dengan mudah menerimaku!"
"Heum.. Lakukanlah semaumu!" desis Karin yang sudah tidak tahan dibuat merona oleh Zayn. Zayn hanya tersenyum tapi ia serius dengan ucapannya.
***
"Terimakasih sepupuku yang manis.. Aku akan mengingat jasamu sepanjang hidupku!" ucap Reina sumringah lalu bergegas turun dari mobil Tan. Tan mendecih kemudian ikut turun.
"Tidak usah berlebihan! Traktir aku sebagai ucapan terimakasih!" kata Tan datar. Reina menatapnya heran.
"Sejak kapan kau jadi materialistik seperti ini?"
"Sejak aku merasa lapar! Cepat traktir aku atau aku tidak akan mau membantumu lagi!"
"Ah.. Baiklah.. Nanti sepulang kuliah, akan ku traktir kau makan ya.." kata Reina lalu bergegas pergi namun Tan dengan cepat menahan lengannya.
"Traktir sekarang! Aku belum sarapan dan keroncongan!"
"Tapi tadi kau bilang harus ke kantor.."
"Mana bisa aku ke kantor dengan perut kelaparan.."
"Hah.. Kau rewel sekali! Baiklah.. Ayo masuk.. Kita makan di kantin kampus saja.. Sepagi ini pasti belum ramai.." ajak Reina dan Tan dengan cepat menyetujuinya. Ia langsung berjalan beriringan dengan Reina memasuki area kampus. Sembari berjalan, matanya tak henti mencari-cari keberadaan Karin.
"Oh ya.. Gadis yang kemarin itu.. Siapa?" tanya Reina tiba-tiba.
"Siapa?" Tan yang tidak fokus malah balik bertanya.
"Gadis yang kemarin pergi dengan Zayn!"
"Oh.. Dia sekretaris baruku di kantor.."
"Eum, sepertinya.. Dia dekat dengan Zayn.."
Tan mendelik, menyadari nada bicara Reina yang merendah dan gadis itupun menundukkan kepalanya. Tan jadi semakin yakin bahwa Reina suka pada lelaki yang kemarin menyelamatkan gadis itu dari amukannya.
Tak berapa lama, mereka tiba di salah satu kantin yang tersedia di kampus itu. Reina langsung menarik tangan Tan dan mengajaknya duduk di tempat yang masih kosong.
Tan menurut lalu tiba-tiba tertegun, ketika matanya menangkap keberadaan Karin di kantin itu bersama seorang pria yang ia kenali adalah Zayn. Mereka terlihat akrab dan Karin selalu tersenyum senang saat bersama lelaki itu dan hal itu membuat Tan mendadak panas.
"Dan! Kau mau makan apa? Ini kantin terbaik di sini! Menunya seperti di restoran!" kata Reina sedikit promosi. Ia duduk di depan Tan sehingga tidak melihat keberadaan Zayn dan Karin.
"Emm.. Aku.. Terserah kau saja!" kata Tan yang tidak fokus. Reina mengangguk-anggukkan kepalanya lalu melambaikan tangan pada seorang pelayan di kantin itu.
"Bibi, kami pesan dua porsi pasta kerang dan dua gelas teh dingin.." ucap Reina menyebutkan pesanannya. Bibi pelayan itupun segera mencatat pesanan nya dan pergi meninggalkan mereka.
"Kau akan terkejut merasakan pastanya! Ini enak sekali! Harusnya Bibi itu kerja di restorant saja!" kata Reina antusias. Ia lalu tertegun melihat Tan yang memandang tajam ke belakangnya. Karena penasaran, iapun berniat menoleh.
"Kau lihat ap~" Reina kembali tertegun ketika melihat Zayn dan Karin di belakangnya. Mereka tengah asik berbincang sambil sesekali memandangi layar laptop. Reina mendesah, ia kesal melihatnya.
"Aish! Sekretarismu sepertinya pacaran dengan Zayn!" keluh Reina yang sudah kembali menatap Tan. Tan hanya terdiam dan berusaha tidak melihat Karin dan Zayn lagi.
"Kau suka pada laki-laki itu?" tanya Tan. Reina langsung gugup dan menggaruk-garuk rambutnya.
"Apa yang kau lihat dari laki-laki itu? Apa dia tampan? Menurutku biasa saja! Aku jauh lebih tampan!" gumam Tan percaya diri.
"Dia itu tidak hanya tampan tapi juga baik hati, tidak cerewet dan suka membela kebenaran! Dia tidak suka menindas yang lemah! Tidak seperti mu!" tukas Reina dan Tan langsung cemberut.
"Ku kira kau menyukai lelaki jelek berambut cepak dan berkacamata bernama Tara itu!" gerutu Tan.
"Heh! Dia memang berkacamata dan berambut cepak tapi dia tidak jelek!" sungut Reina tak terima, Tan langsung menatapnya curiga.
"Kau ini sebenarnya suka pada siapa hah?!" volume suara Tan mulai meninggi. "Apa urusannya denganmu hah?! Aku suka pada siapa saja itu bukan urusanmu!" balas Reina yang suaranya ikut meninggi.
"Kau memuji-muji lelaki itu tapi kau juga tidak mau aku menjelek-jelekkan si rambut cepak itu! Apa kau menyukai keduanya?!"
"Kalau iya kenapa?!"
"Bagaimana bisa tipe mu seperti itu?! Kau benar-benar tidak tau caranya memilih lelaki! Harusnya kau pilih lelaki yang seperti aku?! Walaupun tidak ada yang sesempurna aku setidaknya yang sedikit di bawahku!"
"Berhenti menyombongkan dirimu di depanku! Di bandingkan mereka berdua, kau seperti kotoran di kuku tau!"
"Apa?!" Tan meradang. Dan tanpa mereka sadari, adu mulut mereka sudah di dengar oleh semua penghuni kantin tak terkecuali Zayn dan Karin yang terbengong-bengong melihatnya.
"Apa maksudmu dengan kotoran kuku hah?! Beraninya kau menyamakanku dengan kotoran kuku! Aku ini harta nasional yang paling berharga tau!"
"Harta nasional apa?! Kau hanya bisa mengoceh dan mengata-ngatai orang! Kau berandalan yang patut di musnahkan dari muka bumi ini!"
"Heh! Kau..." Tan tertegun dan seketika menghentikan ocehannya. Ia baru sadar bahwa ternyata dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang. Termasuk Karin dan Zayn.
"Hah! Terserah saja! Aku pergi!" seru Tan kesal kemudian pergi meninggalkan kantin. Semua menatapnya dengan wajah terheran-heran. Reina yang di tinggalkan hanya bisa mengumpat kelakuan sepupunya itu.
Sementara Karin, ia nampak berpikir.
"Sedang apa dia disini? Apa dia sengaja datang untuk memastikan aku menipunya atau tidak? Hah.. Kenapa dia jadi over protectiv begitu?!" gumam Karin dalam hati.
***
Tan memacu langkahnya dengan cepat. Ia benar-benar kesal dan ingin membunuh seseorang saat ini. Berdebat dengan Reina membuatnya gila. Terlebih melihat keakraban Karin dengan Zayn yang semakin membuatnya panas.
"Reina lebih parah dari gadis itu! Bisa-bisanya dia memuji-muji lelaki itu dan menyamakanku dengan kotoran kuku! Aish! Tidak masalah kalau dia membela si rambut cepak tapi aku tidak bisa terima ketika dia melebih-lebihkan si Zayn itu! Aish! Apa bagusnya dia? Dia hanya anak kuliahan yang belum tentu kaya raya, dibandingkan denganku, aku jauh lebih baik! Dan kenapa juga di sekretaris bodoh itu berdua-duaan dengannya?! Membuatku panas saja!" gerutu Tan sepanjang perjalanan menuju mobilnya.
Begitu mencapai mobil, Tan bergegas masuk dan langsung mengemudikan mobilnya menjauh.
"Oke! Kau boleh bersenang-senang dengan lelaki itu sekarang tapi tunggulah dimana saatnya kau akan tergila-gila padaku dan bersusah payah mengejar cintaku!" tukas Tan. Karena emosi, ia jadi tidak fokus menyetir.
Sebuah mobil yang melaju di depan mobil Tan tiba-tiba berhenti, Tan langsung menginjak rem dan menghentikan mobilnya tapi tabrakan tak bisa di pungkiri. Mobil Tan sedikit menabrak bagian belakang mobil di depannya dan membuat lampu belakangnya pecah. Tan meringis lalu lekas keluar dari mobil.
"Aish! Siapa yang berani-beraninya menghentikan mobil di depanku hah?!" gerutu Tan kesal sambil berjalan mendekati mobil yang sudah di tabraknya. Dengan kesal, ia langsung mengetuk kaca mobil secara brutal.
Pintu mobil itu terbuka dan Tan menunggu untuk segera mengomelinya. Tapi omelannya itu hilang begitu saja melihat siapa yang keluar dari mobil itu.
"Alena.."
"Daniel.. Ternyata kau.." Alena tersenyum manis. Padahal sebelumnya ia sangat marah dengan orang yang menabrak mobilnya tapi begitu melihat orang itu adalah Tan. Ia malah menjadi sangat senang.
"Ada apa denganmu? Kenapa menghentikan mobil di tengah jalan? Untung tabrakannya tidak keras!" gerutu Tan. Sebenarnya omelannya masih panjang tapi ia hanya mengeluarkan seperempat nya saja.
Alena tersenyum lalu menunjuk sesuatu di belakang Tan. Tan menoleh, ia terkecoh mendapati lampu lalu lintas di belakangnya.
"Ah.. Aku tidak lihat.." gumam Tan. Alena kembali tersenyum.
"Sebaiknya kita segera pergi sebelum ada polisi lalu lintas yang datang.." kata Alena dan bergegas masuk ke mobilnya.
"Kau harus mengantarku ke bengkel.." ucap Alena dan Tan terpaksa mengangguk. Ia kemudian kembali masuk ke mobilnya dan setelah lampu lalu lintas menyala hijau, ia menyetir mendahului Alena, menunjukkan bengkel untuk memperbaiki mobil Alena.
READ MORE - Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #25
Setelah mengemas tas, gadis itu bergegas keluar rumah. Usai mengunci pintu rumah nya yang kosong, ia pun segera melangkah menyusuri trotoar. Ia akan naik bis hari ini untuk menghemat biaya.
Karin asik dengan ponselnya, berniat mengetikkan sms untuk Gracia, namun belum sempat sms itu terkirim, sebuah panggilan sudah masuk ke ponselnya dengan name kontak 'Bos seTan'. Karin mendengus lalu dengan kesal menjawab telfonnya.
"Aku tidak masuk hari ini, aku ada kuliah! Kuliahku sampai sore!" celetuk Karin. Beberapa saat kemudian, ia langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Teriakan Tan melengking dahsyat dan mengerikan.
"Tidak bisa!!"
"Apa nya yang tidak bisa? Kau sendiri kan yang bilang, aku boleh datang kapanpun sepulang kuliah dan hari ini aku pulang tepat saat jam kerjaku berakhir! Masa aku harus datang ke kantor disaat semua orang pulang!" oceh Karin dengan tampang keki.
"Kalau begitu gaji mu ku potong!" tukas Tan. Karin tergelak.
"Hey.. Kau bahkan sudah memberikan gajiku sebelum aku mulai bekerja!"
"Kalau begitu gaji keduamu yang akan ku potong!"
"Heh! Mana boleh begitu!" sungut Karin yang mulai emosi. Ia heran, rasanya setiap kali bicara dengan Tan, bawaannya selalu emosi.
"Kenapa tidak boleh? Aku bosnya! Sudah lah, tidak apa-apa kalau kau tidak masuk hari ini tapi gajimu aku potong setengah!"
"Heh! Kau..." Karin yang hendak melayangkan protes langsung menggeram kesal karena sambungan telfon sudah di putuskan oleh Tan. Gadis itupun menjerit kesal dan berniat membanting ponselnya, namun mengingat itu adalah barang berharga yang sangat penting, ia pun mengurungkan niatnya.
"Aku ada latihan teater hari ini.. Aish! Aku tidak akan ke kantor!" tukas Karin setengah mengeluh kemudian lekas mempercepat langkah menuju halte.
***
Tan bersungut-sungut di depan pintu rumahnya sambil menatap layar ponsel di tangannya. Ia benar-benar kesal karena Karin bersikeras tak mau masuk kerja. Bahkan ancaman potong gaji pun tak mempan untuk gadis itu.
"Lihat saja! Dia pasti akan datang!" tukas Tan yakin.
"Daaaaan!!" teriakan itu membuat Tan melengos. Siapa lagi yang suka memanggil namanya sambil teriak-teriak seperti itu kalau bukan Reina.
Tan menoleh dan melihat sepupunya itu muncul di pintu gerbang rumahnya sambil melambai-lambaikan tangan kearahnya.
"Mau apa kau doraemon?!" teriak Tan sambil bertolak pinggang. Reina hanya tersenyum lalu berjalan mendekatinya.
"Antarkan aku!" seru Reina. Tan mendelik dan mendengus jengkel.
"Kau datang kesini hanya untuk meminta ku mengantarkanmu? Ya ampun.. Siapa kau? Aku tidak kenal!" sungut Tan seraya mendorong bahu Reina dan melangkah melewatinya. Reina mendesis lalu lekas menyusul Tan yang memacu langkah kearah mobilnya.
"Ayolah.. Aku benar-benar butuh tumpangan hari ini.. Pagi-pagi sekali kak Keenan sudah berangkat, Papa tidak pulang dari semalam dan Mama sedang menjenguk Omah.. Aku harus pergi dengan siapa kalau bukan kau?" Reina mulai merengek sambil bergelayut di lengan Tan.
"Heh! Aku tidak punya waktu mengantarmu! Aku harus ke kantor!"
"Kau jahat sekali! Akan ku adukan pada Ibumu.." ancam Reina lalu berlari menuju pintu rumah Tan yang terbuka. Tan melengos jengkel.
"Heh! Baiklah! Aku akan mengantarmu!" teriak Tan dan Reina langsung menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan tersenyum menang.
"Kau puas?!" tanya Tan keki.
"Puas sekali!" sahut Reina tersenyum lebar.
Tan meringis. Menyesali rumahnya yang berada dekat dengan rumah sepupunya itu.
"Cepatlah! Aku harus menemui dosen pagi ini!" seru Reina yang sudah masuk ke dalam mobil. Tan mendesis, kalau dilihat-lihat kelakuan Reina itu mirip sekali dengan Karin.
Bicara soal Karin, Tan jadi berpikir mengenai keuntungan mengantar Reina ke kampus. Dengan begitu, ia bisa sekalian memastikan apa Karin benar-benar ada di kampus atau tidak. Diam-diam, Tan tersenyum kecil.
***
"Zayn!" Karin memekik memanggil Zayn yang tengah berkutat dengan laptopnya di salah satu meja kantin. Lelaki itu menoleh ketika namanya di panggil dan tersenyum ramah pada gadis yang memanggilnya.
Karin bergegas ketempat Zayn duduk dan langsung mengambil tempat di sampingnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Karin sambil menatap layar laptop Zayn.
"Hanya mendownload film.." jawab Zayn. Karin seketika memukul lengannya.
"Hoby mu tidak pernah berubah.." desisnya dan Zayn tertawa kecil.
"Kau sendiri juga tidak pernah merubah hoby mu memukul lenganku!" umpat Zayn. Karin hanya nyengir.
"Eh iya.. Kau ikut teater Putri Tidur kan?" tanya Zayn. Karin mengangguk dengan bibir mengerucut.
"Mamalukan sekali kan? Aku heran kenapa pelatih memilih dongeng anak-anak untuk di pentaskan!"
"Hey.. Dongeng anak-anak apa? Disitu ada adegan kissing nya tau, lebih tepatnya itu dongeng remaja!"
"Kau benar! Dan adegan itu yang paling membuatku merasa sebagai wanita paling sial di dunia ini! Aku harus membiarkan Addy menciumku! Aish!" Karin merutuk. Zayn tersenyum lalu menatapnya serius.
"Kalau yang menciummu itu aku, apa kau masih merasa sebagai gadis paling sial?"
Pertanyaan Zayn seketika membuat Karin tertegun. Apalagi ditambah senyuman Zayn yang manis, Karin jadi salah tingkah sendiri.
"Aish! Jangan bercanda dengan ku pagi-pagi begini!" keluh Karin sambil memukul lagi lengan Zayn. Zayn hanya tertawa sambil mengusap-usap lengannya.
"Hey.. Bolehkah aku menawarkan diri menggantikan Addy untuk memerankan tokoh pangeran?" tanya Zayn. Karin mengangkat alisnya.
"Kau benar-benar ingin menciumku?" tanya Karin setengah bercanda tapi Zayn malah mengangguk pasti. Pipi Karin mendadak panas.
"Hey.. Kau itu anak baru! Mereka tidak akan menerimamu semudah itu!" ujar Karin berusaha mengalihkan kegugupannya.
"Siapa bilang? Meskipun aku baru, aku tau banyak tentang cerita Putri tidur! Aku bisa mendalami karakter pangeran dengan sangat baik! Aku yakin, kalau aku menawarkan diri, mereka akan dengan mudah menerimaku!"
"Heum.. Lakukanlah semaumu!" desis Karin yang sudah tidak tahan dibuat merona oleh Zayn. Zayn hanya tersenyum tapi ia serius dengan ucapannya.
***
"Terimakasih sepupuku yang manis.. Aku akan mengingat jasamu sepanjang hidupku!" ucap Reina sumringah lalu bergegas turun dari mobil Tan. Tan mendecih kemudian ikut turun.
"Tidak usah berlebihan! Traktir aku sebagai ucapan terimakasih!" kata Tan datar. Reina menatapnya heran.
"Sejak kapan kau jadi materialistik seperti ini?"
"Sejak aku merasa lapar! Cepat traktir aku atau aku tidak akan mau membantumu lagi!"
"Ah.. Baiklah.. Nanti sepulang kuliah, akan ku traktir kau makan ya.." kata Reina lalu bergegas pergi namun Tan dengan cepat menahan lengannya.
"Traktir sekarang! Aku belum sarapan dan keroncongan!"
"Tapi tadi kau bilang harus ke kantor.."
"Mana bisa aku ke kantor dengan perut kelaparan.."
"Hah.. Kau rewel sekali! Baiklah.. Ayo masuk.. Kita makan di kantin kampus saja.. Sepagi ini pasti belum ramai.." ajak Reina dan Tan dengan cepat menyetujuinya. Ia langsung berjalan beriringan dengan Reina memasuki area kampus. Sembari berjalan, matanya tak henti mencari-cari keberadaan Karin.
"Oh ya.. Gadis yang kemarin itu.. Siapa?" tanya Reina tiba-tiba.
"Siapa?" Tan yang tidak fokus malah balik bertanya.
"Gadis yang kemarin pergi dengan Zayn!"
"Oh.. Dia sekretaris baruku di kantor.."
"Eum, sepertinya.. Dia dekat dengan Zayn.."
Tan mendelik, menyadari nada bicara Reina yang merendah dan gadis itupun menundukkan kepalanya. Tan jadi semakin yakin bahwa Reina suka pada lelaki yang kemarin menyelamatkan gadis itu dari amukannya.
Tak berapa lama, mereka tiba di salah satu kantin yang tersedia di kampus itu. Reina langsung menarik tangan Tan dan mengajaknya duduk di tempat yang masih kosong.
Tan menurut lalu tiba-tiba tertegun, ketika matanya menangkap keberadaan Karin di kantin itu bersama seorang pria yang ia kenali adalah Zayn. Mereka terlihat akrab dan Karin selalu tersenyum senang saat bersama lelaki itu dan hal itu membuat Tan mendadak panas.
"Dan! Kau mau makan apa? Ini kantin terbaik di sini! Menunya seperti di restoran!" kata Reina sedikit promosi. Ia duduk di depan Tan sehingga tidak melihat keberadaan Zayn dan Karin.
"Emm.. Aku.. Terserah kau saja!" kata Tan yang tidak fokus. Reina mengangguk-anggukkan kepalanya lalu melambaikan tangan pada seorang pelayan di kantin itu.
"Bibi, kami pesan dua porsi pasta kerang dan dua gelas teh dingin.." ucap Reina menyebutkan pesanannya. Bibi pelayan itupun segera mencatat pesanan nya dan pergi meninggalkan mereka.
"Kau akan terkejut merasakan pastanya! Ini enak sekali! Harusnya Bibi itu kerja di restorant saja!" kata Reina antusias. Ia lalu tertegun melihat Tan yang memandang tajam ke belakangnya. Karena penasaran, iapun berniat menoleh.
"Kau lihat ap~" Reina kembali tertegun ketika melihat Zayn dan Karin di belakangnya. Mereka tengah asik berbincang sambil sesekali memandangi layar laptop. Reina mendesah, ia kesal melihatnya.
"Aish! Sekretarismu sepertinya pacaran dengan Zayn!" keluh Reina yang sudah kembali menatap Tan. Tan hanya terdiam dan berusaha tidak melihat Karin dan Zayn lagi.
"Kau suka pada laki-laki itu?" tanya Tan. Reina langsung gugup dan menggaruk-garuk rambutnya.
"Apa yang kau lihat dari laki-laki itu? Apa dia tampan? Menurutku biasa saja! Aku jauh lebih tampan!" gumam Tan percaya diri.
"Dia itu tidak hanya tampan tapi juga baik hati, tidak cerewet dan suka membela kebenaran! Dia tidak suka menindas yang lemah! Tidak seperti mu!" tukas Reina dan Tan langsung cemberut.
"Ku kira kau menyukai lelaki jelek berambut cepak dan berkacamata bernama Tara itu!" gerutu Tan.
"Heh! Dia memang berkacamata dan berambut cepak tapi dia tidak jelek!" sungut Reina tak terima, Tan langsung menatapnya curiga.
"Kau ini sebenarnya suka pada siapa hah?!" volume suara Tan mulai meninggi. "Apa urusannya denganmu hah?! Aku suka pada siapa saja itu bukan urusanmu!" balas Reina yang suaranya ikut meninggi.
"Kau memuji-muji lelaki itu tapi kau juga tidak mau aku menjelek-jelekkan si rambut cepak itu! Apa kau menyukai keduanya?!"
"Kalau iya kenapa?!"
"Bagaimana bisa tipe mu seperti itu?! Kau benar-benar tidak tau caranya memilih lelaki! Harusnya kau pilih lelaki yang seperti aku?! Walaupun tidak ada yang sesempurna aku setidaknya yang sedikit di bawahku!"
"Berhenti menyombongkan dirimu di depanku! Di bandingkan mereka berdua, kau seperti kotoran di kuku tau!"
"Apa?!" Tan meradang. Dan tanpa mereka sadari, adu mulut mereka sudah di dengar oleh semua penghuni kantin tak terkecuali Zayn dan Karin yang terbengong-bengong melihatnya.
"Apa maksudmu dengan kotoran kuku hah?! Beraninya kau menyamakanku dengan kotoran kuku! Aku ini harta nasional yang paling berharga tau!"
"Harta nasional apa?! Kau hanya bisa mengoceh dan mengata-ngatai orang! Kau berandalan yang patut di musnahkan dari muka bumi ini!"
"Heh! Kau..." Tan tertegun dan seketika menghentikan ocehannya. Ia baru sadar bahwa ternyata dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang. Termasuk Karin dan Zayn.
"Hah! Terserah saja! Aku pergi!" seru Tan kesal kemudian pergi meninggalkan kantin. Semua menatapnya dengan wajah terheran-heran. Reina yang di tinggalkan hanya bisa mengumpat kelakuan sepupunya itu.
Sementara Karin, ia nampak berpikir.
"Sedang apa dia disini? Apa dia sengaja datang untuk memastikan aku menipunya atau tidak? Hah.. Kenapa dia jadi over protectiv begitu?!" gumam Karin dalam hati.
***
Tan memacu langkahnya dengan cepat. Ia benar-benar kesal dan ingin membunuh seseorang saat ini. Berdebat dengan Reina membuatnya gila. Terlebih melihat keakraban Karin dengan Zayn yang semakin membuatnya panas.
"Reina lebih parah dari gadis itu! Bisa-bisanya dia memuji-muji lelaki itu dan menyamakanku dengan kotoran kuku! Aish! Tidak masalah kalau dia membela si rambut cepak tapi aku tidak bisa terima ketika dia melebih-lebihkan si Zayn itu! Aish! Apa bagusnya dia? Dia hanya anak kuliahan yang belum tentu kaya raya, dibandingkan denganku, aku jauh lebih baik! Dan kenapa juga di sekretaris bodoh itu berdua-duaan dengannya?! Membuatku panas saja!" gerutu Tan sepanjang perjalanan menuju mobilnya.
Begitu mencapai mobil, Tan bergegas masuk dan langsung mengemudikan mobilnya menjauh.
"Oke! Kau boleh bersenang-senang dengan lelaki itu sekarang tapi tunggulah dimana saatnya kau akan tergila-gila padaku dan bersusah payah mengejar cintaku!" tukas Tan. Karena emosi, ia jadi tidak fokus menyetir.
Sebuah mobil yang melaju di depan mobil Tan tiba-tiba berhenti, Tan langsung menginjak rem dan menghentikan mobilnya tapi tabrakan tak bisa di pungkiri. Mobil Tan sedikit menabrak bagian belakang mobil di depannya dan membuat lampu belakangnya pecah. Tan meringis lalu lekas keluar dari mobil.
"Aish! Siapa yang berani-beraninya menghentikan mobil di depanku hah?!" gerutu Tan kesal sambil berjalan mendekati mobil yang sudah di tabraknya. Dengan kesal, ia langsung mengetuk kaca mobil secara brutal.
Pintu mobil itu terbuka dan Tan menunggu untuk segera mengomelinya. Tapi omelannya itu hilang begitu saja melihat siapa yang keluar dari mobil itu.
"Alena.."
"Daniel.. Ternyata kau.." Alena tersenyum manis. Padahal sebelumnya ia sangat marah dengan orang yang menabrak mobilnya tapi begitu melihat orang itu adalah Tan. Ia malah menjadi sangat senang.
"Ada apa denganmu? Kenapa menghentikan mobil di tengah jalan? Untung tabrakannya tidak keras!" gerutu Tan. Sebenarnya omelannya masih panjang tapi ia hanya mengeluarkan seperempat nya saja.
Alena tersenyum lalu menunjuk sesuatu di belakang Tan. Tan menoleh, ia terkecoh mendapati lampu lalu lintas di belakangnya.
"Ah.. Aku tidak lihat.." gumam Tan. Alena kembali tersenyum.
"Sebaiknya kita segera pergi sebelum ada polisi lalu lintas yang datang.." kata Alena dan bergegas masuk ke mobilnya.
"Kau harus mengantarku ke bengkel.." ucap Alena dan Tan terpaksa mengangguk. Ia kemudian kembali masuk ke mobilnya dan setelah lampu lalu lintas menyala hijau, ia menyetir mendahului Alena, menunjukkan bengkel untuk memperbaiki mobil Alena.
Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #24
"Apa yang kalian lakukan?!"
Teriakan Ibu Tan yang sangat kaget dengan apa yang dilihatnya itu seketika menyadarkan Tan dan juga Karin. Tan segera menyingkir dari Karin dan lekas berdiri dengan wajah kalut sementara Karinpun ikut berdiri, kepalanya tertunduk dalam. Kali ini ia bukan hanya malu tapi juga ketakutan.
"Ibu, jangan percaya dengan apa yang Ibu lihat! Ini hanya ilusi.." ujar Tan dalam hati. Ia lalu melirik Karin yang benar-benar ketakutan disampingnya sementara dirinya sendiri berusaha untuk tetap tenang, padahal jantungnya sendiri berdegup tak karuan.
Ibu Tan memandang anaknya dan juga Karin dengan tatapan seolah ingin menerkam keduanya.
"Tan! Kita harus bicara!" seru Ibu Tan seraya melangkah mendekati tempat Tan dan Karin terdiam. Tan langsung memberi kode pada Karin untuk meninggalkannya bersama Ibunya.
Karin lekas pergi setelah sempat membungkuk pertanda pamit pada Ibu Tan. Gadis itu hanya dapat berdoa dalam hati, semoga dirinya tidak di pecat.
Ibu Tan memandang tajam kearah Karin bahkan sampai gadis itu keluar dan menutup pintu.
"Ibu.. Duduklah dulu.." ajak Tan sambil merangkul Ibunya dan menuntunnya duduk di sofa. Ibu Tan menurut tapi tatapannya masih tetap mengerikan.
"Bagaimana kau menjelaskan semua ini heum?" tanya Ibu Tan. Tan memasang cengiran di wajahnya lalu duduk di depan Ibunya. Tangannya menggaruk tengkuk, berusaha mencari alasan yang masuk akal. Ibunya masih menanti dengan tatapan tajam.
"Siapa gadis itu? Sekretaris barumu?" pertanyaan Ibunya membuat Tan mengangguk.
"Kau tidak mau dijodohkan dengan Alena karena berhubungan dengannya?"
"Bu-bukan! Bukan begitu Ibu! Ibu jangan salah paham padaku!"
"Lalu apa? Apa yang kau lakukan dengannya tadi hah? Apa ini kerjaanmu selama Ibu diluar negeri? Kau main belakang dengan sekretarismu? Di kantor?!" nada suara Ibu mulai meninggi. Tan semakin tersudut tapi dia tidak mau hanya diam, ia harus mendapatkan alasan yang tepat.
"Aku tidak main belakang dengannya Ibu! Dia itu hanya sekretarisku, tidak lebih!"
"Lalu apa yang kalian lakukan tadi hah?!"
"Itu.. Hanya.. Latihan drama!" Oke. Itu alasan yang basi, tapi Tan tetap menaruh harapan besar semoga Ibunya percaya dengan alasan itu.
"Latihan drama? Apa maksudmu?"
"Dia.. Mahasiswi di jurusan Seni dan mengikuti suatu pementasan drama, aku hanya membantunya latihan dan kebetulan adegannya seperti yang Ibu lihat tadi! Sungguh! Tadi aku hanya membantunya latihan!" Tan memasang wajah meyakinkan sementara Ibunya menautkan alis dan memicingkan matanya. Menatap Tan intens, mencari kebenaran dari wajahnya.
"Jangan mencoba membohongi Ibu!"
"Ibu! Aku tidak bohong! Lagipula mana mungkin aku pacaran dengannya? Dia itu bukan tipe ku, dia benar-benar dibawah standar! Mana mungkin aku suka pada gadis seperti itu! Ibu kan tahu sendiri kalau aku hanya menyukai gadis dari kalangan atas! Dia itu jauh sekali.."
Ibu Tan terdiam dan wajahnya yang tadi sangar dan mengerikan perlahan berubah menjadi lebih tenang dan santai. Melihat itu, Tan menghela nafas lega, sepertinya Ibu percaya.
"Baiklah! Ibu rasa kau benar.. Dilihat dari penampilannya saja, gadis itu bukan tipemu! Oke! Jadi yang tadi itu hanya latihan drama? Kau membantunya melakukan adegan itu?"
"Tepat!"
"Baiklah! Tapi, jangan pernah melakukannya lagi, karena kalau orang lain melihatnya, mereka pasti akan mengira yang bukan-bukan dan akibatnya, citra perusahaan kita akan memburuk! Apa jadinya jika ada berita bos yang pacaran dengan sekretarisnya? Itu akan jadi berita yang murahan! Jangan pernah lakukan itu lagi! Kau mengerti?"
Tan mengangguk cepat. Hatinya bersorak lega. Paling tidak, Karin tak akan di pecat.
"Ibu.. Apa yang membawamu kemari?" tanya Tan mengalihkan pembicaraan.
"Ibu hanya ingin memeriksa kantor, sekalian melihat pekerjaanmu! Oh ya.. Apa kau sudah memikirkan masalah perjodohanmu dengan Alena?"
Mendengar pertanyaan Ibunya, Tan kembali tak bersemangat. Ekspresinya langsung berubah malas.
"Ibu, bisakah aku tidak di jodohkan? Aku kan bukan anak laki-laki jelek dan kampungan yang tidak laku!"
"Ibu tau, tapi Ibu ingin kau menikah dengan gadis yang baik sesuai dengan pilihan Ibu! Ibu tidak mau anak Ibu satu-satunya menikah dengan gadis biasa yang bahkan Ibu tidak kenal dengan orang tuanya! Kalau Alena kan sudah pasti cocok denganmu.. Lagipula ini bisa mendongkrak kesuksesan perusahaan! Kau tau kan, Tuan Emrick itu pengusaha sukses yang bisa membuat perusahaan kita bertambah baik!"
"Tapi Ibu.."
"Sudahlah, kau hanya belum mencobanya.. Nanti, ketika kau sudah bertemu Alena dan memulai hubungan spesial dengannya, kau pasti akan berterima kasih pada Ibu karena telah menjodohkanmu dengannya!"
Tan terdiam. Ibunya memang sangat keras kepala dan pemaksa. Ia ingat bagaimana dulu Ibunya memaksa menyekolahkannya ke luar negeri, seberapapun Tan menolak bahkan sampai nekad kabur dari rumah, Ibunya tetap melakukan segala cara hingga berhasil mengirimnya ke luar negeri. Dan Tan yakin, Ibunya juga akan melakukan segala cara untuk menikahkannya dengan Alena. Seberapapun ia menolak.
"Persiapkan dirimu, minggu depan kita akan bertemu Alena dan keluarganya" ucap Ibu Tan sambil tersenyum sementara Tan hanya menunduk menahan kesal,
"Ibu pergi dulu.. Lakukan pekerjaanmu dengan baik! Dan ingat, jangan sampai kau lakukan hal-hal seperti tadi lagi dengan sekretarismu itu! Jika dia minta bantuanmu untuk latihan drama lagi, suruh saja dia latihan dengan cleaning service! Kenapa bos harus membantu sekretarisnya? Dia pasti sengaja minta bantuanmu agar bisa melihat wajahmu lebih dekat! Kau jangan sampai terhasut dengan wanita seperti itu!"
Tan hanya diam. Sebenarnya hatinya panas juga mendengar ocehan Ibunya yang begitu memojokkan Karin.
"Ya sudah.. Ibu pergi dulu.." pamit Ibunya dan segera melangkah keluar.
***
Karin terkesiap ketika melihat Ibu Tan keluar, iapun langsung berdiri dan menunduk tanda hormat sementara Ibu Tan menatapnya sinis.
"Jika kau mau latihan drama lagi, ajak saja orang lain! Jangan putraku! Mengerti?"
Karin mengernyitkan dahi mendengar ucapan Ibu Tan. Tapi kepalanya terangguk juga, pura-pura mengerti padahal ia tak mengerti sama sekali.
Ibu Tan bergegas pergi masih dengan wajah judesnya.
"Latihan drama? Drama apa?" gumam Karin bingung.
Beberapa saat setelah Ibunya pergi, Tan keluar dari ruangannya dan menghampiri Karin di mejanya.
"Apa.. Aku di pecat?" tanya Karin takut-takut. Tan memasang tampang 'no coment' yang membuat Karin kesal.
"Heh! Aku tanya padamu!"
"Menurutmu bagaimana? Kau di pecat tidak?"
"Bagaimana aku tahu? Yang bicara dengan Ibu mu kan kau sendiri!"
"Kau tidak akan di pecat! Tenang saja.."
"Benarkah?" Karin nampak tak yakin namun setelah Tan mengangguk memastikan, senyum Karin merekah. Hatinya lega sekali dan ia sangat bahagia.
"Berterimakasihlah padaku, berkat akal pintar ku, kau tidak di pecat!"
"Oh, aku mengerti sekarang! Kau bilang pada Ibu mu bahwa kita sedang latihan drama, iyakan?" Tan menganggukkan kepalanya.
"Wah! Itu alasan yang ketinggalah jaman, tapi Ibu mu percaya! Syukurlah.." gumam Karin sumringah. Tan meliriknya dengan ekor mata.
"Mana ucapan terimakasih mu?" tegur Tan membuat Karin menatap kearahnya.
"Baiklah.. Terimakasih Tan.. Kau memang hebat!" ucap Karin tulus.
"Kau tau kan, tidak ada yang gratis di dunia ini?"
Senyum Karin langsung lenyap mendengar ucapan Tan. Pandangannya langsung berubah kesal.
"Maksudmu apa? Apa aku harus bayar padamu karena Ibumu tidak jadi memecatku?! Hey.. Aku hampir di pecat karena ulahmu! Kau sudah kali membuatku di anggap sebagai sekretaris penggoda bosnya!"
"Heh! Kalau bukan karna kau memukulku, aku juga tidak akan melakukan itu! Lagipula tadi itu benar-benar bukan unsur kesengajaan! Aku hanya melindungi diri, kau selalu memukulku! Ku kira dengan membuatmu tak berkutik kau akan berhenti memukulku! Jadi itu salahmu bukan salahku!"
"Kau benar-benar menyebalkan ya? Mana boleh menumpahkan kesalahan pada gadis tak berdosa sepertiku!"
"Cih, gadis tak berdosa! Memangnya kau bayi yang baru keluar dari perut Ibumu hah?! Di usia mu yang sudah tua itu, sudah berapa banyak dosa yang kau lakukan?! Masih mengaku sebagai gadis tak berdosa! Cih!"
"Heh! Setidaknya aku lebih baik darimu!"
"Apanya yang lebih baik! Dengar ya, jangan mencoba membandingkan dirimu dengan orang sepertiku! Kau tidak akan bisa berada diatasku! Sudahlah, traktir aku makan!"
Karin mengernyit mendengar kalimat terakhir Tan. Lelaki itu malah mengalihkan pandangannya dan bersikap cuek.
"Kenapa aku harus mentraktirmu? Memangnya aku Ibumu?"
"Kalau kau Ibuku, aku tidak akan setampan ini! Sudah! Jangan banyak bicara! Kau harus mentraktirku karena aku sudah menyelamatkanmu dari ancaman kehilangan pekerjaan! Ibuku bisa saja langsung memecatmu tadi kalau saja aku tidak memutar otak mencari alasan! Ucapan terimakasih saja tidak cukup!"
Karin menatap keki kearah Tan yang benar-benar menyebalkan. Ia tak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang satu ini. Seumur hidup baru kali ini bertemu orang seperti Tan dan sial sekali harus berurusan dengannya.
"Ya sudah! Karena kau memaksa, aku akan mentraktirmu Ice cream!" seru Karin dengan wajah sumringah. Ekspresi Tan langsung berubah kaget.
"Apa? Ice cream? Heh! Berapa umurmu? Makan Ice cream!? Kekanakan sekali, aku tidak mau! Traktir aku sapi panggang atau setidaknya ayam panggang!"
"Kau ini materialistik sekali! Aku mana punya uang untuk mentraktirmu makanan mahal! Aku sedang krisis ekonomi! Mengertilah sedikit, sudah untuk aku mau mentraktirmu!"
"Tapi jangan Ice cream juga! Aku tidak suka makan makanan anak-anak seperti itu!"
"Ya sudah kalau kau tidak mau! Aku juga tidak akan memaksa! Minta traktir saja pada orang lain! Aku ini gadis miskin yang tidak punya uang banyak! Kau tidak mengerti sama sekali! Jangankan mentraktirmu sapi panggang, aku sendiri saja tidak pernah makan.." Karin menundukkan kepalanya membuat Tan merasa tak enak. Sepertinya, ia sudah banyak menuntut."Ah! Baiklah! Traktir aku Ice cream!" ucap Tan sambil berjalan meninggalkan meja Karin. Karin mengangkat wajahnya dan tersenyum sumringah. Ia lalu lekas menyusul Tan yang sudah hampir mencapai lift.
"Hey.. Apa kita harus pergi sekarang?" tanya Karin begitu ia dan Tan sudah berdiri berdampingan di dalam lift.
"Memangnya kenapa?"
"Kau tidak ada pekerjaan?"
"Kau kan sekretarisku, tentu kau yang lebih tau!"
"Hehe, seingatku tidak ada jadwal rapat atau bertemu client" ujar Karin cengengesan. Tan tersenyum kecil.
"Oh ya.. Kalau dilihat Ibumu bagaimana?!" tanya Karin yang tiba-tiba panik. Tan langsung mendengus kearahnya.
"Aku pergi dengan sekretarisku, katakan saja ini urusan pekerjaan! Kau ini bodoh sekali! Usahakan mencuci otak tiga kali sehari supaya pikiranmu itu jernih!" celoteh Tan dan Karin langsung diam dengan bibir mengerucut.
***
"Paman.. Ice creamnya dua ya.. Rasa coklat!" pesan Karin dengan wajah sumringah pada seorang penjual Ice cream. Tan melongo tak percaya. Ia dan Karin kini ada di sebuah taman kota dan Tan tak menyangka Karin akan membelikannya Ice cream disini.
"Heh! Kau gila?! Aku pikir kau akan mentraktirku makan Ice cream di cafe atau sejenisnya! Kenapa malah di tukang Ice cream keliling begini? Mau di taruh dimana wajah tampanku hah? Nanti kalau wajahku yang sedang membeli Ice cream muncul di koran bagaimana? Ibuku bisa shock!"
Karin mendesis jengkel mendengar ocehan Tan yang disertai rasa percaya dirinya yang berlebihan. Ia lalu mendengus sambil memukul lengan bosnya itu.
"Kau ini jangan terlalu banyak menghayal! Memangnya kau selebritis hah?!"
"Aku ini lebih dari sekedar selebritis! Masa makan Ice cream disini? Apa-apaan ini?!" Tan menggerutu. Karin mengabaikannya.
"Ini Ice creamnya nona.." ucap penjual Ice cream sambil menyerahkan dua bungkus Ice cream rasa coklat. Karin menerimanya dengan senyum merekah seperti anak-anak. Tan mendesis tak percaya.
"Bagaimana bisa kau bersikap seperti itu di usiamu yang sudah tua itu hah?!" gerutunya dan Karin hanya mendelik tanpa bicara apapun. Ia langsung mengeluarkan uang nya dan membayar pada penjual Ice cream.
"Terimakasih Paman.. Semoga daganganmu hari ini laris.." ucap Karin yang dibalas senyum penjual Ice cream. Tan mencibir.
"Ayo pergi! Kita duduk disana saja.." ajak Karin sambil menunjuk sebuah bangku taman tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tan hanya menurut dengan wajah malas.
"Ini! Makanlah pelan-pelan.." ujar Karin seraya menyerahkan satu bungkus Ice cream untuk Tan yang telah duduk di sampingnya.
"Kau menasehatiku seolah aku ini anak kecil yang tidak tau caranya makan Ice cream!" sungut Tan seraya menyambar Ice cream yang disodorkan Karin. Karin hanya tersenyum lalu mulai menikmati Ice creamnya.
"Eum.. Ini enak sekali.." gumam Karin sambil tersenyum. Tan meliriknya dan tersenyum mencibir.
"Persis anak kecil!"
"Heh.. Cepat dimakan, nanti meleleh.." ujar Karin pada Tan yang sudah membuka bungkus Ice cream tapi belum melahapnya. Tan hanya mendesis lalu mulai melumat makanan dingin itu.
"Ini benar-benar traktiran paling murahan yang pernah ku terima" sungut Tan. Karin meliriknya keki.
"Heh! Bersyukurlah! Apapun yang kau makan, kau harus mensyukurinya!" sahut Karin kesal. Tan hanya manggut-manggut dan tiba-tiba tertegun menatap Karin yang asik makan.
Bibir gadis itu belepotan Ice cream dan entah kenapa, Tan tidak bisa melepaskan tatapannya dari bibir gadis itu. Jantungnya berdebar-debar. Ribuan setan sepertinya mulai menggodanya dan Tan hanya mampu menelan ludah. Ice creamnya ia biarkan meleleh begitu saja. Karin yang sedang asik melumat Ice cream tidak menyadari bahwa dirinya sedang dipandangi seperti itu oleh Tan.
Tan menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menolak hasutan setan yang membuatnya tidak tahan ingin..
"Heh! Kau kenapa?" tanya Karin yang menoleh dan melihat gelagat aneh Tan. Tan terdiam menatapnya.
"Hey.. Ada apa denganmu?" tanya Karin yang mulai risih dengan tatapan Tan. Ia sedikit menggeser duduknya, menjaga jarak dengan lelaki itu.
"Tan.. Ice creammu meleleh.." ucap Karin yang semakin risih. Tan tak bergeming dan masih menatapnya. Jantung Karin berdebar keras dan ia tak tau bahwa Tan pun mengalami hal yang sama.
"Ah! Ice creamku sudah habis!" teriak Karin sambil memakan sisa Ice creamnya sekaligus lalu bangkit berdiri. Tan terhenyak, sepertinya ia baru tersadar dari pesona gadis itu.
"Huah.. Bajuku..!!" teriak Tan yang melihat bajunya kotor terkena lelahan Ice cream coklat. Karin menoleh kearahnya dan tertawa melihat kehebohan lelaki itu.
"Makanya! Saat makan Ice cream, jangan melamun!" seru Karin dengan senyum puas lalu melangkah pergi menjauhi Tan. Tan melihatnya dengan tatapan kesal.
"Heh! Berhenti disana!" serunya lalu bergegas menyusul Karin.
READ MORE - Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #24
Teriakan Ibu Tan yang sangat kaget dengan apa yang dilihatnya itu seketika menyadarkan Tan dan juga Karin. Tan segera menyingkir dari Karin dan lekas berdiri dengan wajah kalut sementara Karinpun ikut berdiri, kepalanya tertunduk dalam. Kali ini ia bukan hanya malu tapi juga ketakutan.
"Ibu, jangan percaya dengan apa yang Ibu lihat! Ini hanya ilusi.." ujar Tan dalam hati. Ia lalu melirik Karin yang benar-benar ketakutan disampingnya sementara dirinya sendiri berusaha untuk tetap tenang, padahal jantungnya sendiri berdegup tak karuan.
Ibu Tan memandang anaknya dan juga Karin dengan tatapan seolah ingin menerkam keduanya.
"Tan! Kita harus bicara!" seru Ibu Tan seraya melangkah mendekati tempat Tan dan Karin terdiam. Tan langsung memberi kode pada Karin untuk meninggalkannya bersama Ibunya.
Karin lekas pergi setelah sempat membungkuk pertanda pamit pada Ibu Tan. Gadis itu hanya dapat berdoa dalam hati, semoga dirinya tidak di pecat.
Ibu Tan memandang tajam kearah Karin bahkan sampai gadis itu keluar dan menutup pintu.
"Ibu.. Duduklah dulu.." ajak Tan sambil merangkul Ibunya dan menuntunnya duduk di sofa. Ibu Tan menurut tapi tatapannya masih tetap mengerikan.
"Bagaimana kau menjelaskan semua ini heum?" tanya Ibu Tan. Tan memasang cengiran di wajahnya lalu duduk di depan Ibunya. Tangannya menggaruk tengkuk, berusaha mencari alasan yang masuk akal. Ibunya masih menanti dengan tatapan tajam.
"Siapa gadis itu? Sekretaris barumu?" pertanyaan Ibunya membuat Tan mengangguk.
"Kau tidak mau dijodohkan dengan Alena karena berhubungan dengannya?"
"Bu-bukan! Bukan begitu Ibu! Ibu jangan salah paham padaku!"
"Lalu apa? Apa yang kau lakukan dengannya tadi hah? Apa ini kerjaanmu selama Ibu diluar negeri? Kau main belakang dengan sekretarismu? Di kantor?!" nada suara Ibu mulai meninggi. Tan semakin tersudut tapi dia tidak mau hanya diam, ia harus mendapatkan alasan yang tepat.
"Aku tidak main belakang dengannya Ibu! Dia itu hanya sekretarisku, tidak lebih!"
"Lalu apa yang kalian lakukan tadi hah?!"
"Itu.. Hanya.. Latihan drama!" Oke. Itu alasan yang basi, tapi Tan tetap menaruh harapan besar semoga Ibunya percaya dengan alasan itu.
"Latihan drama? Apa maksudmu?"
"Dia.. Mahasiswi di jurusan Seni dan mengikuti suatu pementasan drama, aku hanya membantunya latihan dan kebetulan adegannya seperti yang Ibu lihat tadi! Sungguh! Tadi aku hanya membantunya latihan!" Tan memasang wajah meyakinkan sementara Ibunya menautkan alis dan memicingkan matanya. Menatap Tan intens, mencari kebenaran dari wajahnya.
"Jangan mencoba membohongi Ibu!"
"Ibu! Aku tidak bohong! Lagipula mana mungkin aku pacaran dengannya? Dia itu bukan tipe ku, dia benar-benar dibawah standar! Mana mungkin aku suka pada gadis seperti itu! Ibu kan tahu sendiri kalau aku hanya menyukai gadis dari kalangan atas! Dia itu jauh sekali.."
Ibu Tan terdiam dan wajahnya yang tadi sangar dan mengerikan perlahan berubah menjadi lebih tenang dan santai. Melihat itu, Tan menghela nafas lega, sepertinya Ibu percaya.
"Baiklah! Ibu rasa kau benar.. Dilihat dari penampilannya saja, gadis itu bukan tipemu! Oke! Jadi yang tadi itu hanya latihan drama? Kau membantunya melakukan adegan itu?"
"Tepat!"
"Baiklah! Tapi, jangan pernah melakukannya lagi, karena kalau orang lain melihatnya, mereka pasti akan mengira yang bukan-bukan dan akibatnya, citra perusahaan kita akan memburuk! Apa jadinya jika ada berita bos yang pacaran dengan sekretarisnya? Itu akan jadi berita yang murahan! Jangan pernah lakukan itu lagi! Kau mengerti?"
Tan mengangguk cepat. Hatinya bersorak lega. Paling tidak, Karin tak akan di pecat.
"Ibu.. Apa yang membawamu kemari?" tanya Tan mengalihkan pembicaraan.
"Ibu hanya ingin memeriksa kantor, sekalian melihat pekerjaanmu! Oh ya.. Apa kau sudah memikirkan masalah perjodohanmu dengan Alena?"
Mendengar pertanyaan Ibunya, Tan kembali tak bersemangat. Ekspresinya langsung berubah malas.
"Ibu, bisakah aku tidak di jodohkan? Aku kan bukan anak laki-laki jelek dan kampungan yang tidak laku!"
"Ibu tau, tapi Ibu ingin kau menikah dengan gadis yang baik sesuai dengan pilihan Ibu! Ibu tidak mau anak Ibu satu-satunya menikah dengan gadis biasa yang bahkan Ibu tidak kenal dengan orang tuanya! Kalau Alena kan sudah pasti cocok denganmu.. Lagipula ini bisa mendongkrak kesuksesan perusahaan! Kau tau kan, Tuan Emrick itu pengusaha sukses yang bisa membuat perusahaan kita bertambah baik!"
"Tapi Ibu.."
"Sudahlah, kau hanya belum mencobanya.. Nanti, ketika kau sudah bertemu Alena dan memulai hubungan spesial dengannya, kau pasti akan berterima kasih pada Ibu karena telah menjodohkanmu dengannya!"
Tan terdiam. Ibunya memang sangat keras kepala dan pemaksa. Ia ingat bagaimana dulu Ibunya memaksa menyekolahkannya ke luar negeri, seberapapun Tan menolak bahkan sampai nekad kabur dari rumah, Ibunya tetap melakukan segala cara hingga berhasil mengirimnya ke luar negeri. Dan Tan yakin, Ibunya juga akan melakukan segala cara untuk menikahkannya dengan Alena. Seberapapun ia menolak.
"Persiapkan dirimu, minggu depan kita akan bertemu Alena dan keluarganya" ucap Ibu Tan sambil tersenyum sementara Tan hanya menunduk menahan kesal,
"Ibu pergi dulu.. Lakukan pekerjaanmu dengan baik! Dan ingat, jangan sampai kau lakukan hal-hal seperti tadi lagi dengan sekretarismu itu! Jika dia minta bantuanmu untuk latihan drama lagi, suruh saja dia latihan dengan cleaning service! Kenapa bos harus membantu sekretarisnya? Dia pasti sengaja minta bantuanmu agar bisa melihat wajahmu lebih dekat! Kau jangan sampai terhasut dengan wanita seperti itu!"
Tan hanya diam. Sebenarnya hatinya panas juga mendengar ocehan Ibunya yang begitu memojokkan Karin.
"Ya sudah.. Ibu pergi dulu.." pamit Ibunya dan segera melangkah keluar.
***
Karin terkesiap ketika melihat Ibu Tan keluar, iapun langsung berdiri dan menunduk tanda hormat sementara Ibu Tan menatapnya sinis.
"Jika kau mau latihan drama lagi, ajak saja orang lain! Jangan putraku! Mengerti?"
Karin mengernyitkan dahi mendengar ucapan Ibu Tan. Tapi kepalanya terangguk juga, pura-pura mengerti padahal ia tak mengerti sama sekali.
Ibu Tan bergegas pergi masih dengan wajah judesnya.
"Latihan drama? Drama apa?" gumam Karin bingung.
Beberapa saat setelah Ibunya pergi, Tan keluar dari ruangannya dan menghampiri Karin di mejanya.
"Apa.. Aku di pecat?" tanya Karin takut-takut. Tan memasang tampang 'no coment' yang membuat Karin kesal.
"Heh! Aku tanya padamu!"
"Menurutmu bagaimana? Kau di pecat tidak?"
"Bagaimana aku tahu? Yang bicara dengan Ibu mu kan kau sendiri!"
"Kau tidak akan di pecat! Tenang saja.."
"Benarkah?" Karin nampak tak yakin namun setelah Tan mengangguk memastikan, senyum Karin merekah. Hatinya lega sekali dan ia sangat bahagia.
"Berterimakasihlah padaku, berkat akal pintar ku, kau tidak di pecat!"
"Oh, aku mengerti sekarang! Kau bilang pada Ibu mu bahwa kita sedang latihan drama, iyakan?" Tan menganggukkan kepalanya.
"Wah! Itu alasan yang ketinggalah jaman, tapi Ibu mu percaya! Syukurlah.." gumam Karin sumringah. Tan meliriknya dengan ekor mata.
"Mana ucapan terimakasih mu?" tegur Tan membuat Karin menatap kearahnya.
"Baiklah.. Terimakasih Tan.. Kau memang hebat!" ucap Karin tulus.
"Kau tau kan, tidak ada yang gratis di dunia ini?"
Senyum Karin langsung lenyap mendengar ucapan Tan. Pandangannya langsung berubah kesal.
"Maksudmu apa? Apa aku harus bayar padamu karena Ibumu tidak jadi memecatku?! Hey.. Aku hampir di pecat karena ulahmu! Kau sudah kali membuatku di anggap sebagai sekretaris penggoda bosnya!"
"Heh! Kalau bukan karna kau memukulku, aku juga tidak akan melakukan itu! Lagipula tadi itu benar-benar bukan unsur kesengajaan! Aku hanya melindungi diri, kau selalu memukulku! Ku kira dengan membuatmu tak berkutik kau akan berhenti memukulku! Jadi itu salahmu bukan salahku!"
"Kau benar-benar menyebalkan ya? Mana boleh menumpahkan kesalahan pada gadis tak berdosa sepertiku!"
"Cih, gadis tak berdosa! Memangnya kau bayi yang baru keluar dari perut Ibumu hah?! Di usia mu yang sudah tua itu, sudah berapa banyak dosa yang kau lakukan?! Masih mengaku sebagai gadis tak berdosa! Cih!"
"Heh! Setidaknya aku lebih baik darimu!"
"Apanya yang lebih baik! Dengar ya, jangan mencoba membandingkan dirimu dengan orang sepertiku! Kau tidak akan bisa berada diatasku! Sudahlah, traktir aku makan!"
Karin mengernyit mendengar kalimat terakhir Tan. Lelaki itu malah mengalihkan pandangannya dan bersikap cuek.
"Kenapa aku harus mentraktirmu? Memangnya aku Ibumu?"
"Kalau kau Ibuku, aku tidak akan setampan ini! Sudah! Jangan banyak bicara! Kau harus mentraktirku karena aku sudah menyelamatkanmu dari ancaman kehilangan pekerjaan! Ibuku bisa saja langsung memecatmu tadi kalau saja aku tidak memutar otak mencari alasan! Ucapan terimakasih saja tidak cukup!"
Karin menatap keki kearah Tan yang benar-benar menyebalkan. Ia tak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang satu ini. Seumur hidup baru kali ini bertemu orang seperti Tan dan sial sekali harus berurusan dengannya.
"Ya sudah! Karena kau memaksa, aku akan mentraktirmu Ice cream!" seru Karin dengan wajah sumringah. Ekspresi Tan langsung berubah kaget.
"Apa? Ice cream? Heh! Berapa umurmu? Makan Ice cream!? Kekanakan sekali, aku tidak mau! Traktir aku sapi panggang atau setidaknya ayam panggang!"
"Kau ini materialistik sekali! Aku mana punya uang untuk mentraktirmu makanan mahal! Aku sedang krisis ekonomi! Mengertilah sedikit, sudah untuk aku mau mentraktirmu!"
"Tapi jangan Ice cream juga! Aku tidak suka makan makanan anak-anak seperti itu!"
"Ya sudah kalau kau tidak mau! Aku juga tidak akan memaksa! Minta traktir saja pada orang lain! Aku ini gadis miskin yang tidak punya uang banyak! Kau tidak mengerti sama sekali! Jangankan mentraktirmu sapi panggang, aku sendiri saja tidak pernah makan.." Karin menundukkan kepalanya membuat Tan merasa tak enak. Sepertinya, ia sudah banyak menuntut."Ah! Baiklah! Traktir aku Ice cream!" ucap Tan sambil berjalan meninggalkan meja Karin. Karin mengangkat wajahnya dan tersenyum sumringah. Ia lalu lekas menyusul Tan yang sudah hampir mencapai lift.
"Hey.. Apa kita harus pergi sekarang?" tanya Karin begitu ia dan Tan sudah berdiri berdampingan di dalam lift.
"Memangnya kenapa?"
"Kau tidak ada pekerjaan?"
"Kau kan sekretarisku, tentu kau yang lebih tau!"
"Hehe, seingatku tidak ada jadwal rapat atau bertemu client" ujar Karin cengengesan. Tan tersenyum kecil.
"Oh ya.. Kalau dilihat Ibumu bagaimana?!" tanya Karin yang tiba-tiba panik. Tan langsung mendengus kearahnya.
"Aku pergi dengan sekretarisku, katakan saja ini urusan pekerjaan! Kau ini bodoh sekali! Usahakan mencuci otak tiga kali sehari supaya pikiranmu itu jernih!" celoteh Tan dan Karin langsung diam dengan bibir mengerucut.
***
"Paman.. Ice creamnya dua ya.. Rasa coklat!" pesan Karin dengan wajah sumringah pada seorang penjual Ice cream. Tan melongo tak percaya. Ia dan Karin kini ada di sebuah taman kota dan Tan tak menyangka Karin akan membelikannya Ice cream disini.
"Heh! Kau gila?! Aku pikir kau akan mentraktirku makan Ice cream di cafe atau sejenisnya! Kenapa malah di tukang Ice cream keliling begini? Mau di taruh dimana wajah tampanku hah? Nanti kalau wajahku yang sedang membeli Ice cream muncul di koran bagaimana? Ibuku bisa shock!"
Karin mendesis jengkel mendengar ocehan Tan yang disertai rasa percaya dirinya yang berlebihan. Ia lalu mendengus sambil memukul lengan bosnya itu.
"Kau ini jangan terlalu banyak menghayal! Memangnya kau selebritis hah?!"
"Aku ini lebih dari sekedar selebritis! Masa makan Ice cream disini? Apa-apaan ini?!" Tan menggerutu. Karin mengabaikannya.
"Ini Ice creamnya nona.." ucap penjual Ice cream sambil menyerahkan dua bungkus Ice cream rasa coklat. Karin menerimanya dengan senyum merekah seperti anak-anak. Tan mendesis tak percaya.
"Bagaimana bisa kau bersikap seperti itu di usiamu yang sudah tua itu hah?!" gerutunya dan Karin hanya mendelik tanpa bicara apapun. Ia langsung mengeluarkan uang nya dan membayar pada penjual Ice cream.
"Terimakasih Paman.. Semoga daganganmu hari ini laris.." ucap Karin yang dibalas senyum penjual Ice cream. Tan mencibir.
"Ayo pergi! Kita duduk disana saja.." ajak Karin sambil menunjuk sebuah bangku taman tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tan hanya menurut dengan wajah malas.
"Ini! Makanlah pelan-pelan.." ujar Karin seraya menyerahkan satu bungkus Ice cream untuk Tan yang telah duduk di sampingnya.
"Kau menasehatiku seolah aku ini anak kecil yang tidak tau caranya makan Ice cream!" sungut Tan seraya menyambar Ice cream yang disodorkan Karin. Karin hanya tersenyum lalu mulai menikmati Ice creamnya.
"Eum.. Ini enak sekali.." gumam Karin sambil tersenyum. Tan meliriknya dan tersenyum mencibir.
"Persis anak kecil!"
"Heh.. Cepat dimakan, nanti meleleh.." ujar Karin pada Tan yang sudah membuka bungkus Ice cream tapi belum melahapnya. Tan hanya mendesis lalu mulai melumat makanan dingin itu.
"Ini benar-benar traktiran paling murahan yang pernah ku terima" sungut Tan. Karin meliriknya keki.
"Heh! Bersyukurlah! Apapun yang kau makan, kau harus mensyukurinya!" sahut Karin kesal. Tan hanya manggut-manggut dan tiba-tiba tertegun menatap Karin yang asik makan.
Bibir gadis itu belepotan Ice cream dan entah kenapa, Tan tidak bisa melepaskan tatapannya dari bibir gadis itu. Jantungnya berdebar-debar. Ribuan setan sepertinya mulai menggodanya dan Tan hanya mampu menelan ludah. Ice creamnya ia biarkan meleleh begitu saja. Karin yang sedang asik melumat Ice cream tidak menyadari bahwa dirinya sedang dipandangi seperti itu oleh Tan.
Tan menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menolak hasutan setan yang membuatnya tidak tahan ingin..
"Heh! Kau kenapa?" tanya Karin yang menoleh dan melihat gelagat aneh Tan. Tan terdiam menatapnya.
"Hey.. Ada apa denganmu?" tanya Karin yang mulai risih dengan tatapan Tan. Ia sedikit menggeser duduknya, menjaga jarak dengan lelaki itu.
"Tan.. Ice creammu meleleh.." ucap Karin yang semakin risih. Tan tak bergeming dan masih menatapnya. Jantung Karin berdebar keras dan ia tak tau bahwa Tan pun mengalami hal yang sama.
"Ah! Ice creamku sudah habis!" teriak Karin sambil memakan sisa Ice creamnya sekaligus lalu bangkit berdiri. Tan terhenyak, sepertinya ia baru tersadar dari pesona gadis itu.
"Huah.. Bajuku..!!" teriak Tan yang melihat bajunya kotor terkena lelahan Ice cream coklat. Karin menoleh kearahnya dan tertawa melihat kehebohan lelaki itu.
"Makanya! Saat makan Ice cream, jangan melamun!" seru Karin dengan senyum puas lalu melangkah pergi menjauhi Tan. Tan melihatnya dengan tatapan kesal.
"Heh! Berhenti disana!" serunya lalu bergegas menyusul Karin.
Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #23
Hari ini aku baik kan.. Post 3 part dan lebih panjang dari biasanya :3
Tapi abis ini aku tunda dulu lanjutannya ya.. Mungkin minggu depan :/
Abis baca RCL nya jangan lupa :) ini aku cape lho, dari tadi jaringan ngajak berantem :D walaupun ancur, jelek de'el'el, hargain ya :)
***
Tan lekas melepaskan tangan Karin ketika melihat Keenan berdiri diambang pintu ruangannya dengan wajah kaget. Karin pun segera berdiri tegak dan menunduk malu. Dalam hati, ia mengutuki Tan yang sudah membuatnya malu bahkan di depan Keenan.
Setelah agak lama hening, Tan akhirnya berdiri dan bersuara.
"Kakak! Kau salah paham!" tukasnya. Keenan hanya menatapnya seolah tak percaya.
"Apa aku mengganggu?" tanya Keenan dengan wajah innocent. Tan segera menghampirinya.
"Kau salah lihat! Abaikan penglihatanmu!" kata Tan dengan nada menyuruh. Keenan tersenyum tipis.
"Mataku masih normal"
"Kau tidak mengerti.. Aku hanya.. Heh! Cepat keluar!" teriak Tan pada Karin. Karin pun segera keluar dengan menundukkan kepala dan bersungut-sungut mengumpati kelakuan Tan.
Sepeninggal Karin, Tan langsung menarik Keenan masuk dan menutup pintu.
"Hey.. Santailah sedikit.. Kau gugup sekali.." goda Keenan sambil terkekeh.
"Aku tidak mau kau salah paham, jadi akan ku jelaskan!" tegas Tan. Keenan hanya tertawa kecil kemudian duduk santai diatas sofa.
"Baru satu hari.. Katanya tidak akan jatuh cinta bahkan sampai satu tahun.." sindir Keenan. Tan menatapnya kesal.
"Aku hanya mengerjainya! Coba kau lihat kejadiannya dari awal! Dia itu sangat gampang di kerjai, cepat gugup dan juga bodoh! Jadi, aku hanya mengerjainya saja! Tidak lebih! Aku tidak menyukainya!"
Keenan mengerjap-ngerjapkan matanya dan menatap Tan dengan tatapan tak percaya. Tan bertambah kesal dari refleks melempar bantal sofa kearah kakak sepupunya.
"Sudahlah, adik sepupuku yang tampan.. Mengaku saja!"
"Mengaku apa?! Kau jangan menghakimiku begitu! Kau punya bukti kalau aku suka padanya?" Tan benar-benar sewot dan Keenan senang sekali melihatnya.
"Harusnya tadi ku foto, sayangnya aku terlalu kaget jadi tidak sempat mengeluarkan ponsel" gumam Keenan yang semakin membuat Tan meradang.
"Kau tidak lihat bagaimana mulanya! Aku hanya mengerjainya!" tandas Tan tak mau mengalah.
"Bagaimana ya ekspresi Ibumu jika melihatmu sedang bermesraan begitu dengan sekretaris barumu?"
"Ibu tidak akan lihat! Lagipula siapa yang bermesraan dengan si bodoh itu?! Kau jangan asal menarik kesimpulan!"
Keenan tertawa melihat Tan yang begitu bersikeras dengan pendiriannya bahwa ia tak menyukai Karin. Padahal apa yang dilihat Keenan tadi sudah menjadi salah satu bukti bahwa Tan menyukai gadis itu.
"Kau jangan menyudutkanku!" ketus Tan keki.
"Baiklah.. Anggap saja ucapanmu itu benar! Kau hanya mengerjainya.. Oke,oke! Aku coba pahami.."
Tan menghela nafas lega dan langsung menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Keenan terkekeh geli.
"Kalau kau meninggalkan posisi direktur karena jatuh cinta padanya.. Kira-kira.. Ibumu akan menempatkan siapa disini ya? Apa mungkin aku?"
"Heh!!" Tan kembali duduk tegak ketika mendengar ucapan Keenan.
"Tidak akan ada yang menggantikanku disini! Jangan bermimpi! Lagipula kau sudah punya perusahaan sendiri! Bagaimana bisa kau mencoba merebut perusahaanku! Jangan-jangan kau sengaja ya melakukan taruhan itu supaya bisa menggantikan posisiku?!" sembur Tan emosi. Keenan yang mendengarnya hanya tersenyum santai.
"Mana mungkin aku bertujuan seperti itu, perusahaanku bahkan lebih besar dari punyamu.. Aku melakukan taruhan itu hanya untuk mengujimu, kau terlalu menjunjung tinggi harga diri!"
"Kakak! Sebenarnya tujuanmu kesini apa? Kau mau berdebat denganku?" tanya Tan yang emosinya mulai surut. Terkadang bicara dengan Keenan juga bisa membuatnya meradang. Dibalik penampilannya yang maskulin dan karismatik, Keenan tak jauh beda dengan Reina yang suka membuat kesal orang dan orang yang paling sering dibuat kesal ialah Tan.
"Oh iya! Aku baru ingat! Aku datang kesini untuk mengajakmu makan siang! Kau jarang ke kantorku sekarang, maklumlah.. Kau kan punya sekretaris baru.. Jadi.."
"Kakak!!" seruan atau lebih tepatnya bentakan Tan seketika membuat Keenan bungkam. Lelaki itu mengulum senyum dan berusaha menahan tawa.
"Aku tidak mau pergi denganmu jika kau hanya membahas masalah tidak penting seperti itu!" ketus Tan sambil memalingkan wajah.
"Baiklah.. Aku janji tidak akan membahasnya, tenang saja.. Jadi, mau ikut tidak?"
***
"Hah! Setan menyebalkan! Lagi-lagi dia menggodaku! Membuatku malu! Bahkan di depan Pak Keenan! Aku tidak mau.. Aku pasti dianggap sekretaris penggoda bosnya! Ya ampun.. Mau ditaruh dimana muka ku? Bisa-bisanya dia mengerjaiku seperti itu! Oke! Mulai sekarang, setiap kali dia melakukan hal-hal seperti itu lagi, aku tak akan segan-segan menghajarnya! Ini menyangkut harga diri dan aku harus memperjuangkan harga diriku sampai titik darah penghabisan! Mana boleh membiarkan setan bodoh sepertinya menginjak-injak harga diriku! Dia pikir dia itu hebat, mentang-mentang..." gerutuan panjang lebar Karin buru-buru ia hentikan ketika Tan keluar dari ruangannya bersama Keenan. Tan hanya memandang Karin sinis lalu berjalan melewatinya sementara Keenan yang berjalan di belakang Tan malah menebar senyum pada gadis itu. Karin hampir meluruh ke lantai ketika dua pria itu sudah jauh. Ia malu sekali. Senyuman Keenan pasti senyuman mengejek, pikirnya.
"Huah! Aku tidak tahan kerja disini!" pekik Karin frustasi.
***
Tan dan Keenan masuk kesebuah cafe yang sering mereka kunjungi setiap kali makan siang bersama. Kedua lelaki tampan dan pengusaha muda itu langsung mengambil duduk di salah satu meja yang masih kosong.
Tan masih tampak kesal sementara Keenan hanya tersenyum seperti biasanya.
"Heh! Jangan cemberut begitu!" ujar Keenan sambil menampik kepala Tan dengan buku menu. Tan meringis sambil mengusap kepalanya.
Keenan lalu sibuk menatapi buku menu dan memilih-milih makanan dan minuman yang ditawarkan cafe itu. Tan semula malas, namun daripada hanya duduk diam seperti tak punya uang, ia pun segera ikut berkutat dengan buku menunya.
"Permisi.." suara seorang gadis yang berdiri di dekat mereka terabaikan begitusaja. Keduanya sedang asik memilih menu.
"Maaf, apa.." gadis itu bersuara lagi dan Tan langsung mengangkat tangannya dan berkata tanpa menoleh.
"Kami sedang lihat menunya? Tunggu saja, kalau kami sudah ingin memesan, akan kami panggil!"
Keenan hanya tersenyum mendengar jawaban Tan, ia kemudian mendongak dan tertegun melihat gadis yang ada di dekat meja mereka. Gadis itu bukan pelayan seperti yang di duga Tan melainkan Alena.
"Alena, hey.." Keenan menyapa. Alena tersenyum membalas sapaan lelaki itu sementara Tan yang mendengar sapaan Keenan segera menoleh.
Alena langsung tersenyum pada Tan. Senyum yang manis tapi Tan tak tertarik sama sekali, ia hanya tersenyum singkat lalu kembali berkutat pada buku menu. Wajah Alena terlihat kecewa.
"Aku kesini sendirian dan saat aku melihat kalian.. Aku ingin sekali bergabung.. Apa boleh?" tanya Alena sembari menatap Keenan dan Tan bergantian. Berbeda dengan Tan yang hanya diam, Keenan justru mengangguk semangat.
"Silahkan! Kami dengan senang hati menerimamu.." kata Keenan. Ia bahkan berdiri dan menarik kursi untuk Alena. Alena berterimakasih dan menduduki kursi yang ditarik Keenan.
"Bagaimana kabar kak Keenan dan juga Daniel?" tanya Alena basa-basi. Keenan hendak menjawab namun Tan lebih dulu memotong.
"Tidak perlu menanyakan hal yang sudah kau ketahui jawabannya" kata Tan datar dan terkesan cuek. Alena dan Keenan berpandangan.
Keenan yang menyadari ke kecewaan di wajah Alena atas jawaban cuek Tan, langsung mengalihkan pembicaraan.
"Alena, kau mau pesan apa?" tanya Keenan. Alena berpikir sebentar.
"Aku pesan juice melon saja.." jawab Alena diiringi senyum. Keenan mengangguk lalu beralih pada Tan.
"Kalau kau? Mau pesan apa?"
"Pesan taxi untuk pulang!" ketus Tan. Keenan langsung tertawa garing sambil memukul lengan Tan sementara Alena hanya mengulum senyum. Ia sadar, sepertinya Tan tidak senang bertemu dengannya. Padahal ia masih ingat saat Tan bilang mereka bisa bertemu lagi ditempat yang lebih baik. Tapi sekarang pria itu malah mengacuhkannya.
"Kau ini suka sekali bercanda!" kata Keenan masih tertawa garing. Ia lalu segera memanggil pelayan, menyebutkan pesanan Alena dan pesanannya sementara Tan yang badmood tidak memesan apapun.
"Ada apa denganmu? Ini jam makan siang, masa kau tidak memesan apapun? Kau mau makan hati eum?" cerocos Keenan.
"Kau mau memberikan hatimu? Akan kumakan sampai habis!" sahut Tan ketus.
Keenan lalu melihat kearah Alena dan tersenyum sumringah.
"Kau cantik sekali hari ini, apa kau mau pergi berkencan?" pertanyaan Keenan seketika membuat Alena tersipu. Tan melirik malas.
"Apa aku terlihat seperti mau pergi kencan?"
"Kau terlihat cantik setiap hari" sahut Keenan dan rona merah di pipi Alena semakin terlihat. Tan mendesis jengkel.
"Oh ya ampun.. Aku ada rapat sebentar lagi! Kakak, aku harus pergi.. Nikmati makan siangmu ya.. Aku pergi.." Tan berdiri dan pamit pergi.
Alena terlihat seperti ingin menahannya tapi Tan langsung pergi tanpa menghiraukan apapun. Alena mendesah kecewa.
"Apa dia sesibuk itu?" tanyanya pada Keenan.
"Entahlah, ini masih jam makan siang.. Bagaimana bisa dia ada rapat? Aneh.." gumam Keenan. Alena tertunduk sedih.
***
Tan sedang mengendarai mobilnya ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Dengan malas. Tan mengangkat panggilan dari Ibunya itu.
"Iya.."
"........"
"Apa? Ibu di bandara? Tapi Ibu.. Aku tidak bisa, aku.. Ah, baiklah.. Aku akan segera datang.."
Tan meringis usai mematikan telfon Ibunya, ponselnya dilempar sembarangan ke jok samping. Terpaksa ia putar arah dari menuju kantor menjadi ke bandara. Ibunya pulang hari ini dan sekarang sudah ada di bandara.
Tak sampai sepuluh menit, Tan sudah sampai di bandara. Ia segera bergegas masuk dan mencari-cari Ibunya. Langkahnya terhenti saat melihat seorang wanita paruh baya berpenampilan stylish yang sedang berjalan menuju kearahnya. Diiringi asisten pribadinya yang menyeret koper di belakangnya.
Tan menyunggingkan senyum dan Ibunya langsung mendekap putra semata wayangnya itu.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Ibunya. Terlihat rasa rindu diwajahnya. Sudah seminggu tidak bertemu Tan karena harus pergi keluar negeri mengurus pekerjaan.
"Tentu saja baik! Ibu sendiri terlihat sehat dan menjadi lebih cantik.."
"Tentu saja! Ibu adalah wanita paling cantik diseluruh dunia" seru Ibu Tan narsis. Ibu dan anak ini memang memiliki sifat yang sama.
"Bagaimana pekerjaan disini? Kau mengurusnya dengan baik kan? Pastikan kau tidak terlambat lagi!"
"Iya Ibu.. Ayo pulang" ajak Tan dan Ibunya pun mengangguk. Mereka lalu bergegas keluar dari bandara diikuti asisten Ibu Tan.
***
"Kepulangan Ibu selain karena pekerjaan sudah selesai, tetapi juga ingin membicarakan sesuatu denganmu.." ucap Ibu Tan yang nampak serius. Tan mendengarkannya dengan baik. Tapi entah mengapa, perasaannya tak enak. Merasa bahwa hal yang ingin dibicarakan Ibu bukanlah hal yang baik untuknya.
"Tan.. Kau sudah dewasa, sudah saatnya kau memiliki seorang istri dan Ibu.." Ibu Tan menghentikan sebentar ucapannya. Tan sudah menduga, ia langsung terlihat malas.
"Ibu sudah bicara dengan keluarga Tuan Emrick.. Mereka ingin sekali kau dan Alena berjodoh.. Ibu sendiri juga sangat menginginkannya, kau mau kan dijodohkan dengan Alena?"
Tan terhenyak. Emrick benar-benar sangat serius ingin menjodohkannya dengan Alena bahkan sudah bicara dengan Ibunya. Padahal Tan sama sekali tidak menyetujui perjodohan itu. Ia sama sekali tak tertarik dengan Alena.
"Ibu.. Aku tidak suka di jodohkan!"
"Tapi Alena gadis yang pantas untukmu.. Dia bukan hanya cantik tapi juga cerdas dan terpelajar, tentu kalian akan menjadi pasangan yang sangat serasi.."
"Aku..." Tan meringis. Ia tak suka jika sudah seperti ini. Ia tak punya kemampuan sama sekali untuk menolak keinginan Ibunya tapi ia juga tak mau dijodohkan dengan Alena.
"Biarkan aku berpikir dulu.." ucap Tan kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Ibu memandanginya dan tersenyum.
Ia lalu mengambil ponselnya dan menelfon seseorang.
"Halo.. Sepertinya kita harus segera mengatur pertemuan keluarga.." ucapnya antusias.
***
Karin tidak ada kuliah hari ini, jadi terpaksa ia datang pagi ke kantor. Zayn sempat menelponnya dan menawarkan untuk mengantarnya, tapi Karin dengan halus menolak, ia merasa tak enak jika diantar Zayn terus.
Iapun pergi naik taxi, berhubung masih punya uang cukup.
Sesampainya di kantor, Karin segera naik lift menuju lantai tempat dimana meja tugasnya berada. Begitu sampai, gadis itu langsung duduk di tempatnya. Ia melirik ke pintu ruangan Tan yang tertutup. Tak ada tanda-tanda kehadirannya sama sekali.
Karin jadi kepikiran sendiri, kemarin setelah pergi dengan Keenan, Tan tak kembali ke kantor bahkan sampai jam kerja berakhir. Sebenarnya ia bersyukur Tan tidak ada sehingga dirinya bisa bebas tanpa perlu berdebat namun hatinya sendiri merasa sepi ketika tak mendengar ocehan lelaki itu.
Entah atas dorongan apa, Karin bangkit dari duduknya. Meninggalkan mejanya dan mendekati pintu ruangan Tan. Perlahan, iapun membuka pintu itu dan melongokkan kepalanya kedalam. Ia langsung tertegun mendapati Tan sedang berbaring di sofa empuknya.
"Sejak kapan dia disitu? Aneh sekali! Apa dia menginap disini?" gumam Karin. Ia lalu melangkah masuk. Ia hendak mendekati Tan namun segera ditahannya.
"Bisa-bisa aku dipermalukan lagi seperti waktu itu!" sungutnya. Iapun berniat pergi, tapi tertegun melihat Tan menggeliat, seperti tak tenang dalam tidurnya.
"Apa dia benar-benar tidur?" gumamnya kemudian melangkah perlahan mendekati Tan. Ia berdiri agak jauh untuk menjaga jarak, mana tau Tan pura-pura tidur dan mengerjainya lagi.
"Ehem!" Karin berdehem keras tapi Tan tak bergeming. Gadis itu lalu mendekat lagi dan berdiri tetap di depannya.
"Sepertinya benar-benar tidur.. Apa dia lembur semalaman?" tanya Karin dalam hati. Ia lalu menatap wajah Tan lebih dalam. Jantungnya langsung berdegup kencang. Dan Karin bingung mengapa setiap melihat Tan tidur, jantungnya selalu berdegup kencang.
"Oh.. Sepertinya aku harus ke dokter.. Mungkin aku mengidap penyakit jantung.." desisnya kemudian berbalik pergi. Belum bergerak satu langkahpun, tangannya tiba-tiba ditahan. Karin terperangah. Perlahan, ia memberanikan diri menoleh. Nampak Tan yang masih berbaring dan menatapnya tajam.
"Le-lepaskan aku.." ringis Karin seraya berusaha melepaskan tangannya. Ia takut kejadian kemarin terulang lagi.
"Lihat! Kau memandangiku saat tidur lagi! Sudah ku duga, kau diam-diam mengagumi ketampananku!" Tan tersenyum miring lalu bangkit duduk. Sialnya tangan Karin masih berada dalam cekalannya. Karin melengos.
"Jangan terlalu percaya diri! Aku hanya ingin membangunkanmu.. Mana boleh kau tidur seperti itu.. Masih ada berkas yang harus kau tanda tangani!" ujar Karin yang berhasil mendapatkan alasan.
"Lepaskan aku!" Pinta Karin dan Tan tak juga melepaskan tangannya.
"Akan ku lepaskan jika kau menciumku!"
"Apa?!" Karin terbelalak. Tangannya yang bebas seketika meraih bantal yang tadi menjadi sanggahan kepala Tan.
"Dasar otak mesum!!" teriak Karin dan langsung memukuli Tan dengan membabi buta. Ia sudah tak mau dipermalukan lagi, jadi sebelum kejadian seperti kemarin terjadi, Karin akan menghajar Tan duluan.
Tan menjerit dan cekalan tangannya terlepas begitu saja. Ia justru berusaha melindungi wajah dan kepalanya yang menjadi sasaran kekesalan Karin.
"Heh! Berhenti memukulku!"
"Tidak mau! Kau akan mengerjaiku lagi kalau ku lepaskan! Kau itu setan licik yang suka menggoda dan mengerjai orang! Kau harus mendapatkan pelajaran!" amuk Karin kesal. Tan tidak tahan lagi dipukuli, ia langsung berdiri, memegang bahu Karin dan membantingnya keatas sofa.
Karin terperangah karena kini ia terbaring diatas sofa dan Tan ada diatasnya. Menatapnya tajam. Tak ada yang bisa dilakukan Karin selain diam dengan mata melotot.
"Tan!"
Tan terkejut begitu namanya disebut, dan itu bukan suara Karin. Itu suara seorang wanita yang sangat dikenalnya. Karin tak kalah terkejut, keduanya lalu menoleh ke ambang pintu. Mata Tan terbelalak. Ini lebih mengejutkan dari kemarin. Yang berdiri diambang pintu saat ini adalah..
"Ibu..."
READ MORE - Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #23
Tapi abis ini aku tunda dulu lanjutannya ya.. Mungkin minggu depan :/
Abis baca RCL nya jangan lupa :) ini aku cape lho, dari tadi jaringan ngajak berantem :D walaupun ancur, jelek de'el'el, hargain ya :)
***
Tan lekas melepaskan tangan Karin ketika melihat Keenan berdiri diambang pintu ruangannya dengan wajah kaget. Karin pun segera berdiri tegak dan menunduk malu. Dalam hati, ia mengutuki Tan yang sudah membuatnya malu bahkan di depan Keenan.
Setelah agak lama hening, Tan akhirnya berdiri dan bersuara.
"Kakak! Kau salah paham!" tukasnya. Keenan hanya menatapnya seolah tak percaya.
"Apa aku mengganggu?" tanya Keenan dengan wajah innocent. Tan segera menghampirinya.
"Kau salah lihat! Abaikan penglihatanmu!" kata Tan dengan nada menyuruh. Keenan tersenyum tipis.
"Mataku masih normal"
"Kau tidak mengerti.. Aku hanya.. Heh! Cepat keluar!" teriak Tan pada Karin. Karin pun segera keluar dengan menundukkan kepala dan bersungut-sungut mengumpati kelakuan Tan.
Sepeninggal Karin, Tan langsung menarik Keenan masuk dan menutup pintu.
"Hey.. Santailah sedikit.. Kau gugup sekali.." goda Keenan sambil terkekeh.
"Aku tidak mau kau salah paham, jadi akan ku jelaskan!" tegas Tan. Keenan hanya tertawa kecil kemudian duduk santai diatas sofa.
"Baru satu hari.. Katanya tidak akan jatuh cinta bahkan sampai satu tahun.." sindir Keenan. Tan menatapnya kesal.
"Aku hanya mengerjainya! Coba kau lihat kejadiannya dari awal! Dia itu sangat gampang di kerjai, cepat gugup dan juga bodoh! Jadi, aku hanya mengerjainya saja! Tidak lebih! Aku tidak menyukainya!"
Keenan mengerjap-ngerjapkan matanya dan menatap Tan dengan tatapan tak percaya. Tan bertambah kesal dari refleks melempar bantal sofa kearah kakak sepupunya.
"Sudahlah, adik sepupuku yang tampan.. Mengaku saja!"
"Mengaku apa?! Kau jangan menghakimiku begitu! Kau punya bukti kalau aku suka padanya?" Tan benar-benar sewot dan Keenan senang sekali melihatnya.
"Harusnya tadi ku foto, sayangnya aku terlalu kaget jadi tidak sempat mengeluarkan ponsel" gumam Keenan yang semakin membuat Tan meradang.
"Kau tidak lihat bagaimana mulanya! Aku hanya mengerjainya!" tandas Tan tak mau mengalah.
"Bagaimana ya ekspresi Ibumu jika melihatmu sedang bermesraan begitu dengan sekretaris barumu?"
"Ibu tidak akan lihat! Lagipula siapa yang bermesraan dengan si bodoh itu?! Kau jangan asal menarik kesimpulan!"
Keenan tertawa melihat Tan yang begitu bersikeras dengan pendiriannya bahwa ia tak menyukai Karin. Padahal apa yang dilihat Keenan tadi sudah menjadi salah satu bukti bahwa Tan menyukai gadis itu.
"Kau jangan menyudutkanku!" ketus Tan keki.
"Baiklah.. Anggap saja ucapanmu itu benar! Kau hanya mengerjainya.. Oke,oke! Aku coba pahami.."
Tan menghela nafas lega dan langsung menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Keenan terkekeh geli.
"Kalau kau meninggalkan posisi direktur karena jatuh cinta padanya.. Kira-kira.. Ibumu akan menempatkan siapa disini ya? Apa mungkin aku?"
"Heh!!" Tan kembali duduk tegak ketika mendengar ucapan Keenan.
"Tidak akan ada yang menggantikanku disini! Jangan bermimpi! Lagipula kau sudah punya perusahaan sendiri! Bagaimana bisa kau mencoba merebut perusahaanku! Jangan-jangan kau sengaja ya melakukan taruhan itu supaya bisa menggantikan posisiku?!" sembur Tan emosi. Keenan yang mendengarnya hanya tersenyum santai.
"Mana mungkin aku bertujuan seperti itu, perusahaanku bahkan lebih besar dari punyamu.. Aku melakukan taruhan itu hanya untuk mengujimu, kau terlalu menjunjung tinggi harga diri!"
"Kakak! Sebenarnya tujuanmu kesini apa? Kau mau berdebat denganku?" tanya Tan yang emosinya mulai surut. Terkadang bicara dengan Keenan juga bisa membuatnya meradang. Dibalik penampilannya yang maskulin dan karismatik, Keenan tak jauh beda dengan Reina yang suka membuat kesal orang dan orang yang paling sering dibuat kesal ialah Tan.
"Oh iya! Aku baru ingat! Aku datang kesini untuk mengajakmu makan siang! Kau jarang ke kantorku sekarang, maklumlah.. Kau kan punya sekretaris baru.. Jadi.."
"Kakak!!" seruan atau lebih tepatnya bentakan Tan seketika membuat Keenan bungkam. Lelaki itu mengulum senyum dan berusaha menahan tawa.
"Aku tidak mau pergi denganmu jika kau hanya membahas masalah tidak penting seperti itu!" ketus Tan sambil memalingkan wajah.
"Baiklah.. Aku janji tidak akan membahasnya, tenang saja.. Jadi, mau ikut tidak?"
***
"Hah! Setan menyebalkan! Lagi-lagi dia menggodaku! Membuatku malu! Bahkan di depan Pak Keenan! Aku tidak mau.. Aku pasti dianggap sekretaris penggoda bosnya! Ya ampun.. Mau ditaruh dimana muka ku? Bisa-bisanya dia mengerjaiku seperti itu! Oke! Mulai sekarang, setiap kali dia melakukan hal-hal seperti itu lagi, aku tak akan segan-segan menghajarnya! Ini menyangkut harga diri dan aku harus memperjuangkan harga diriku sampai titik darah penghabisan! Mana boleh membiarkan setan bodoh sepertinya menginjak-injak harga diriku! Dia pikir dia itu hebat, mentang-mentang..." gerutuan panjang lebar Karin buru-buru ia hentikan ketika Tan keluar dari ruangannya bersama Keenan. Tan hanya memandang Karin sinis lalu berjalan melewatinya sementara Keenan yang berjalan di belakang Tan malah menebar senyum pada gadis itu. Karin hampir meluruh ke lantai ketika dua pria itu sudah jauh. Ia malu sekali. Senyuman Keenan pasti senyuman mengejek, pikirnya.
"Huah! Aku tidak tahan kerja disini!" pekik Karin frustasi.
***
Tan dan Keenan masuk kesebuah cafe yang sering mereka kunjungi setiap kali makan siang bersama. Kedua lelaki tampan dan pengusaha muda itu langsung mengambil duduk di salah satu meja yang masih kosong.
Tan masih tampak kesal sementara Keenan hanya tersenyum seperti biasanya.
"Heh! Jangan cemberut begitu!" ujar Keenan sambil menampik kepala Tan dengan buku menu. Tan meringis sambil mengusap kepalanya.
Keenan lalu sibuk menatapi buku menu dan memilih-milih makanan dan minuman yang ditawarkan cafe itu. Tan semula malas, namun daripada hanya duduk diam seperti tak punya uang, ia pun segera ikut berkutat dengan buku menunya.
"Permisi.." suara seorang gadis yang berdiri di dekat mereka terabaikan begitusaja. Keduanya sedang asik memilih menu.
"Maaf, apa.." gadis itu bersuara lagi dan Tan langsung mengangkat tangannya dan berkata tanpa menoleh.
"Kami sedang lihat menunya? Tunggu saja, kalau kami sudah ingin memesan, akan kami panggil!"
Keenan hanya tersenyum mendengar jawaban Tan, ia kemudian mendongak dan tertegun melihat gadis yang ada di dekat meja mereka. Gadis itu bukan pelayan seperti yang di duga Tan melainkan Alena.
"Alena, hey.." Keenan menyapa. Alena tersenyum membalas sapaan lelaki itu sementara Tan yang mendengar sapaan Keenan segera menoleh.
Alena langsung tersenyum pada Tan. Senyum yang manis tapi Tan tak tertarik sama sekali, ia hanya tersenyum singkat lalu kembali berkutat pada buku menu. Wajah Alena terlihat kecewa.
"Aku kesini sendirian dan saat aku melihat kalian.. Aku ingin sekali bergabung.. Apa boleh?" tanya Alena sembari menatap Keenan dan Tan bergantian. Berbeda dengan Tan yang hanya diam, Keenan justru mengangguk semangat.
"Silahkan! Kami dengan senang hati menerimamu.." kata Keenan. Ia bahkan berdiri dan menarik kursi untuk Alena. Alena berterimakasih dan menduduki kursi yang ditarik Keenan.
"Bagaimana kabar kak Keenan dan juga Daniel?" tanya Alena basa-basi. Keenan hendak menjawab namun Tan lebih dulu memotong.
"Tidak perlu menanyakan hal yang sudah kau ketahui jawabannya" kata Tan datar dan terkesan cuek. Alena dan Keenan berpandangan.
Keenan yang menyadari ke kecewaan di wajah Alena atas jawaban cuek Tan, langsung mengalihkan pembicaraan.
"Alena, kau mau pesan apa?" tanya Keenan. Alena berpikir sebentar.
"Aku pesan juice melon saja.." jawab Alena diiringi senyum. Keenan mengangguk lalu beralih pada Tan.
"Kalau kau? Mau pesan apa?"
"Pesan taxi untuk pulang!" ketus Tan. Keenan langsung tertawa garing sambil memukul lengan Tan sementara Alena hanya mengulum senyum. Ia sadar, sepertinya Tan tidak senang bertemu dengannya. Padahal ia masih ingat saat Tan bilang mereka bisa bertemu lagi ditempat yang lebih baik. Tapi sekarang pria itu malah mengacuhkannya.
"Kau ini suka sekali bercanda!" kata Keenan masih tertawa garing. Ia lalu segera memanggil pelayan, menyebutkan pesanan Alena dan pesanannya sementara Tan yang badmood tidak memesan apapun.
"Ada apa denganmu? Ini jam makan siang, masa kau tidak memesan apapun? Kau mau makan hati eum?" cerocos Keenan.
"Kau mau memberikan hatimu? Akan kumakan sampai habis!" sahut Tan ketus.
Keenan lalu melihat kearah Alena dan tersenyum sumringah.
"Kau cantik sekali hari ini, apa kau mau pergi berkencan?" pertanyaan Keenan seketika membuat Alena tersipu. Tan melirik malas.
"Apa aku terlihat seperti mau pergi kencan?"
"Kau terlihat cantik setiap hari" sahut Keenan dan rona merah di pipi Alena semakin terlihat. Tan mendesis jengkel.
"Oh ya ampun.. Aku ada rapat sebentar lagi! Kakak, aku harus pergi.. Nikmati makan siangmu ya.. Aku pergi.." Tan berdiri dan pamit pergi.
Alena terlihat seperti ingin menahannya tapi Tan langsung pergi tanpa menghiraukan apapun. Alena mendesah kecewa.
"Apa dia sesibuk itu?" tanyanya pada Keenan.
"Entahlah, ini masih jam makan siang.. Bagaimana bisa dia ada rapat? Aneh.." gumam Keenan. Alena tertunduk sedih.
***
Tan sedang mengendarai mobilnya ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Dengan malas. Tan mengangkat panggilan dari Ibunya itu.
"Iya.."
"........"
"Apa? Ibu di bandara? Tapi Ibu.. Aku tidak bisa, aku.. Ah, baiklah.. Aku akan segera datang.."
Tan meringis usai mematikan telfon Ibunya, ponselnya dilempar sembarangan ke jok samping. Terpaksa ia putar arah dari menuju kantor menjadi ke bandara. Ibunya pulang hari ini dan sekarang sudah ada di bandara.
Tak sampai sepuluh menit, Tan sudah sampai di bandara. Ia segera bergegas masuk dan mencari-cari Ibunya. Langkahnya terhenti saat melihat seorang wanita paruh baya berpenampilan stylish yang sedang berjalan menuju kearahnya. Diiringi asisten pribadinya yang menyeret koper di belakangnya.
Tan menyunggingkan senyum dan Ibunya langsung mendekap putra semata wayangnya itu.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Ibunya. Terlihat rasa rindu diwajahnya. Sudah seminggu tidak bertemu Tan karena harus pergi keluar negeri mengurus pekerjaan.
"Tentu saja baik! Ibu sendiri terlihat sehat dan menjadi lebih cantik.."
"Tentu saja! Ibu adalah wanita paling cantik diseluruh dunia" seru Ibu Tan narsis. Ibu dan anak ini memang memiliki sifat yang sama.
"Bagaimana pekerjaan disini? Kau mengurusnya dengan baik kan? Pastikan kau tidak terlambat lagi!"
"Iya Ibu.. Ayo pulang" ajak Tan dan Ibunya pun mengangguk. Mereka lalu bergegas keluar dari bandara diikuti asisten Ibu Tan.
***
"Kepulangan Ibu selain karena pekerjaan sudah selesai, tetapi juga ingin membicarakan sesuatu denganmu.." ucap Ibu Tan yang nampak serius. Tan mendengarkannya dengan baik. Tapi entah mengapa, perasaannya tak enak. Merasa bahwa hal yang ingin dibicarakan Ibu bukanlah hal yang baik untuknya.
"Tan.. Kau sudah dewasa, sudah saatnya kau memiliki seorang istri dan Ibu.." Ibu Tan menghentikan sebentar ucapannya. Tan sudah menduga, ia langsung terlihat malas.
"Ibu sudah bicara dengan keluarga Tuan Emrick.. Mereka ingin sekali kau dan Alena berjodoh.. Ibu sendiri juga sangat menginginkannya, kau mau kan dijodohkan dengan Alena?"
Tan terhenyak. Emrick benar-benar sangat serius ingin menjodohkannya dengan Alena bahkan sudah bicara dengan Ibunya. Padahal Tan sama sekali tidak menyetujui perjodohan itu. Ia sama sekali tak tertarik dengan Alena.
"Ibu.. Aku tidak suka di jodohkan!"
"Tapi Alena gadis yang pantas untukmu.. Dia bukan hanya cantik tapi juga cerdas dan terpelajar, tentu kalian akan menjadi pasangan yang sangat serasi.."
"Aku..." Tan meringis. Ia tak suka jika sudah seperti ini. Ia tak punya kemampuan sama sekali untuk menolak keinginan Ibunya tapi ia juga tak mau dijodohkan dengan Alena.
"Biarkan aku berpikir dulu.." ucap Tan kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Ibu memandanginya dan tersenyum.
Ia lalu mengambil ponselnya dan menelfon seseorang.
"Halo.. Sepertinya kita harus segera mengatur pertemuan keluarga.." ucapnya antusias.
***
Karin tidak ada kuliah hari ini, jadi terpaksa ia datang pagi ke kantor. Zayn sempat menelponnya dan menawarkan untuk mengantarnya, tapi Karin dengan halus menolak, ia merasa tak enak jika diantar Zayn terus.
Iapun pergi naik taxi, berhubung masih punya uang cukup.
Sesampainya di kantor, Karin segera naik lift menuju lantai tempat dimana meja tugasnya berada. Begitu sampai, gadis itu langsung duduk di tempatnya. Ia melirik ke pintu ruangan Tan yang tertutup. Tak ada tanda-tanda kehadirannya sama sekali.
Karin jadi kepikiran sendiri, kemarin setelah pergi dengan Keenan, Tan tak kembali ke kantor bahkan sampai jam kerja berakhir. Sebenarnya ia bersyukur Tan tidak ada sehingga dirinya bisa bebas tanpa perlu berdebat namun hatinya sendiri merasa sepi ketika tak mendengar ocehan lelaki itu.
Entah atas dorongan apa, Karin bangkit dari duduknya. Meninggalkan mejanya dan mendekati pintu ruangan Tan. Perlahan, iapun membuka pintu itu dan melongokkan kepalanya kedalam. Ia langsung tertegun mendapati Tan sedang berbaring di sofa empuknya.
"Sejak kapan dia disitu? Aneh sekali! Apa dia menginap disini?" gumam Karin. Ia lalu melangkah masuk. Ia hendak mendekati Tan namun segera ditahannya.
"Bisa-bisa aku dipermalukan lagi seperti waktu itu!" sungutnya. Iapun berniat pergi, tapi tertegun melihat Tan menggeliat, seperti tak tenang dalam tidurnya.
"Apa dia benar-benar tidur?" gumamnya kemudian melangkah perlahan mendekati Tan. Ia berdiri agak jauh untuk menjaga jarak, mana tau Tan pura-pura tidur dan mengerjainya lagi.
"Ehem!" Karin berdehem keras tapi Tan tak bergeming. Gadis itu lalu mendekat lagi dan berdiri tetap di depannya.
"Sepertinya benar-benar tidur.. Apa dia lembur semalaman?" tanya Karin dalam hati. Ia lalu menatap wajah Tan lebih dalam. Jantungnya langsung berdegup kencang. Dan Karin bingung mengapa setiap melihat Tan tidur, jantungnya selalu berdegup kencang.
"Oh.. Sepertinya aku harus ke dokter.. Mungkin aku mengidap penyakit jantung.." desisnya kemudian berbalik pergi. Belum bergerak satu langkahpun, tangannya tiba-tiba ditahan. Karin terperangah. Perlahan, ia memberanikan diri menoleh. Nampak Tan yang masih berbaring dan menatapnya tajam.
"Le-lepaskan aku.." ringis Karin seraya berusaha melepaskan tangannya. Ia takut kejadian kemarin terulang lagi.
"Lihat! Kau memandangiku saat tidur lagi! Sudah ku duga, kau diam-diam mengagumi ketampananku!" Tan tersenyum miring lalu bangkit duduk. Sialnya tangan Karin masih berada dalam cekalannya. Karin melengos.
"Jangan terlalu percaya diri! Aku hanya ingin membangunkanmu.. Mana boleh kau tidur seperti itu.. Masih ada berkas yang harus kau tanda tangani!" ujar Karin yang berhasil mendapatkan alasan.
"Lepaskan aku!" Pinta Karin dan Tan tak juga melepaskan tangannya.
"Akan ku lepaskan jika kau menciumku!"
"Apa?!" Karin terbelalak. Tangannya yang bebas seketika meraih bantal yang tadi menjadi sanggahan kepala Tan.
"Dasar otak mesum!!" teriak Karin dan langsung memukuli Tan dengan membabi buta. Ia sudah tak mau dipermalukan lagi, jadi sebelum kejadian seperti kemarin terjadi, Karin akan menghajar Tan duluan.
Tan menjerit dan cekalan tangannya terlepas begitu saja. Ia justru berusaha melindungi wajah dan kepalanya yang menjadi sasaran kekesalan Karin.
"Heh! Berhenti memukulku!"
"Tidak mau! Kau akan mengerjaiku lagi kalau ku lepaskan! Kau itu setan licik yang suka menggoda dan mengerjai orang! Kau harus mendapatkan pelajaran!" amuk Karin kesal. Tan tidak tahan lagi dipukuli, ia langsung berdiri, memegang bahu Karin dan membantingnya keatas sofa.
Karin terperangah karena kini ia terbaring diatas sofa dan Tan ada diatasnya. Menatapnya tajam. Tak ada yang bisa dilakukan Karin selain diam dengan mata melotot.
"Tan!"
Tan terkejut begitu namanya disebut, dan itu bukan suara Karin. Itu suara seorang wanita yang sangat dikenalnya. Karin tak kalah terkejut, keduanya lalu menoleh ke ambang pintu. Mata Tan terbelalak. Ini lebih mengejutkan dari kemarin. Yang berdiri diambang pintu saat ini adalah..
"Ibu..."
Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #22
Tan tiba di depan kampus tempat Karin kuliah. Ia tidak tahu gadis itu ada disini atau tidak, ia hanya ingin memastikan.
Dari dalam mobil, lelaki itu menajamkan matanya, mencari-cari keberadaan Karin diantara mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang. Tan meringis, Karin tak terlihat.
"Awas saja kalau dia membohongiku! Akan ku cabut gajinya dan kutuntut ke pengadilan!" umpatnya.
Tan berniat turun tapi sebelum itu, ia melepas jas yang membuatnya kepanasan. Dasi yang ia kenakan pun ikut dilepaskannya. Ia tidak ingin terlihat seperti dosen lagi. Meskipun dosen itu jenius namun tetap terlihat kuno, menurutnya.
Setelah memastikan wajahnya nampak cute, Tan pun turun dari mobilnya. Dengan langkah santai dan karismatik, ia melangkah memasuki gerbang kampus. See, semua orang memandangnya kagum. Hati Tan bertepuk tangan riang.
Setelah agak jauh dari gerbang, Tan menghentikan langkahnya. Ia agak bingung mau kemana. Jika ke fakultas seni, ia takut bertemu orang yang dianggapnya spesies mengerikan.
Tan baru akan kembali melanjutkan langkahnya ketika mendengar suara seorang gadis memekik, menyerukan namanya.
"Daaaannn!!"
"Cih, permen loly itu lagi!" gerutu Tan sebelum berbalik dan mendapati Reina dengan jarak beberapa meter di belakangnya.
Reina sedang bersama temannya, namun ia langsung lari menghampiri Tan dan meninggalkan temannya sendirian.
"Sedang apa kau disini?" tanya Reina sambil menatap aneh Tan.
"Aku? Oh.. Hanya lihat-lihat" jawab Tan santai. Kening Reina mengernyit.
"Lihat apa? Kau mau cari gadis itu ya?!" terka Reina dengan telunjuk hampir mengenai mata Tan, Tan kesal dan langsung memelintir jari telunjuk Reina sampai gadis itu meringis minta di lepaskan.
"Kau salah paham!"
"Salah paham apa? Kau kan bertemu gadis yang menciummu itu disini, pasti kau sengaja datang untuk mencarinya! Atau.. Kau sudah bertemu dengannya dan ingin mengajaknya kencan?"
Ocehan Reina benar-benar membuat Tan gemas. Harusnya ia tak hanya memelintir jarinya tapi juga mulutnya.
"Dengar ya anak kecil, urus saja urusanmu sendiri!" tukas Tan. Reina cemberut.
"Kau selalu mengatakan hal itu jika sedang tidak membutuhkanku!"
"Tentu saja! Jika aku membutuhkanmu maka aku akan bicara dengan sangat manis dan tersenyum imut seperti ini.." sahut Tan sembari tersenyum dengan imutnya. Reina lekas melayangkan cubitan di pipinya.
"Aish! Sakit tau!" ringis Tan dan Reina hanya tertawa.
"Oh ya.. Itu temanmu kenapa melihatku begitu?" tanya Tan yang tiba-tiba merasa merinding ketika melihat teman Reina yang menatapnya dengan mata berbinar, wajah sumringah dan bibir komat-kamit. Reina ikut menoleh pada temannya dan ikut merinding.
"Dia baru pertama kali melihat orang aneh! Sudah ya, aku pergi dulu! Semoga bertemu gadis yang kau cari!" Reina pun segera berbalik hendak pergi tapi Tan dengan segera menarik baju sepupunya itu hingga Reina kembali menghadap kearahnya sambil meringis.
"Apa-apaan kau?!" bentaknya kesal.
"Kau menceritakan tentang gadis itu pada kak Keenan! Iya kan?" tanya Tan dengan tatapan tajam. Reina mengangguk dengan polosnya dan itu langsung membuat Tan merengkuh kepalanya dan mengacak-acak rambutnya dengan geram. Reina menjerit-jerit sambil berusaha melepaskan diri.
"Mulutmu itu benar-benar bocor ya! Kau menyebalkan! Tidak bisa di percaya! Kau seperti atap bocor yang tidak bisa melindungi isi rumah dan seperti bak mandi bocor yang tidak bisa menyimpan air di dalamnya! Kenapa kau ceritakan padanya hah?!" amuk Tan dengan emosi sampai ke ubun-ubun. Reina tercekik dan hampir tak dapat bicara. Tangannya melambai-lambai berusaha minta pertolongan tapi orang-orang disekitarnya hanya melongo melihatnya bahkan teman Reina sendiri masih dibawah hipnotis Tan.
"Heh! Kau mau membunuhnya hah?!"
Tan tersentak saat suara seorang lelaki terdengar membentak dan ia yakin bentakan itu untuknya. Tak lama setelah suara itu terdengar, pemiliknyapun muncul dan langsung mendorong Tan menjauh dari Reina. Reina yang merasa baru saja selamat dari bencana langsung bersembunyi dibalik punggung penyelamatnya.
Tan menatap lelaki tinggi berwajah barat yang terlihat melindungi Reina. Padahal dibelakangnya, Reina menjulurkan lidah kearah Tan.
"Mana boleh kau sekasar itu terhadap wanita? Kau tidak malu? Semua orang melihatmu menganiaya seorang wanita!" seru lelaki itu. Tan mendesis lalu tersenyum sinis.
"Wah.. Senang sekali, putri cerewet diselamatkan pangeran pemberani!" sindirnya dengan mata melotot kearah Reina. Reina hanya membalasnya dengan leletan lidah.
Ia lalu menginjit dan mencondongkan wajahnya untuk melihat siapa yang telah menyelamatkannya dan mata gadis itu membola besar. Sedari tadi, ia tidak sadar bahwa yang menyelamatkannya adalah Zayn.
"Kau tidak apa-apa kan?" tanya Zayn sambil melirik Reina. Jantung Reina berdebar kencang dan muka nya menjadi merah.
"Ya ampun.. Sepupu manjaku tersipu malu.." Tan mencibir dan terkekeh geli melihat tingkah Reina.
"Dia sepupumu?" tanya Zayn pada Tan dan dengan cueknya Tan mengangguk."Kenapa? Apa aku tidak boleh memberi pelajaran pada sepupuku sendiri?" tanya Tan dingin. Zayn menatapnya lalu menoleh pada Reina yang masih ada di belakangnya.
"Walaupun dia sepupumu, kau tidak seharusnya menganiayanya seperti itu!" tukas Zayn tegas. Tan memanyunkan bibirnya.
"Terserah kau saja! Kemarikan dia, aku belum puas mengacak kepalanya!"
Tan hendak menarik tangan Reina tapi Zayn menghalanginya membuat Reina benar-benar terpesona pada sosok lelaki itu.
Beberapa orang mulai menonton 3 orang itu. Dimata mereka, ketiganya sedang terlibat cinta segitiga. Dan menurut mereka, Reina sangat beruntung di perebutkan dua lelaki tampan.
"Zayn! Ada apa ini?" suara Karin terdengar dari belakang Tan. Gadis itu berlari-lari kecil mendekati Zayn yang tengah beradu pandang dengan Tan.
Tan menoleh dan seketika itu juga Karin terpaku. Matanya membelalak, tak menyangka sama sekali bahwa bosnya itu ada disini.
"A-apa yang kau lakukan disini?" tanya Karin takut-takut. Tan dengan ekspresi cool menunjuk kearah Reina yang masih bersembunyi di belakang Zayn.
"Aku mau menjemput sepupuku dan pangerannya datang" ucap Tan datar. Karin melirik Zayn lalu mengernyit.
"Siapa di belakangmu?" tanyanya yang tak dapat melihat wajah Reina.
Zayn bergeser beberapa langkah membuat Reina tak punya tameng lagi untuk berlindung. Karin hanya menatapnya karena memang tak mengenal Reina.
"Aku minta maaf karena sudah mencampuri urusanmu dengan sepupumu tapi tidak seharusnya kau bersikap kasar padanya.. Bagaimanapun, dia itu seorang gadis!" ucap Zayn. Tan hanya mengangguk-angguk cuek.
Tan lalu memandang Karin dan tatapannya menyiratkan bahwa ia sangat kesal pada gadis itu. Karin hanya diam tanpa membalas tatapannya.
"Karin.. Ayo kita pulang.." ajak Zayn sambil mengulurkan tangannya kearah Karin. Tan terkejut terlebih saat Karin menggapai tangannya dan menggenggamnya akrab.
"Oh tidak! Pemandangan apa ini?" umpat Tan dalam hati.
"Apa dia mereka pacaran?" batin Reina sedih.
"Tan, aku akan ke kantor dengan Zayn!" ucap Karin lalu melenggang dengan santai bersama Zayn. Meninggalkan Tan dan Reina yang perasaannya kini sama. Cemburu, mungkin.
"Aish! Apa-apaan mereka! Sok mesra di depanku!" gerutu Tan. Ia lalu menoleh pada Reina yang jadi sedih dan tertunduk. Tan pun langsung mengusap rambut Reina yang berantakan dan merapikannya.
"Sudah! Jangan sedih begitu.. Maafkan aku.. Aku hanya bercanda tadi!" kata Tan. Reina tetap tertunduk.
"Hey.. Kita sudah sering melakukan ini! Kau bahkan sering menjambak rambutku juga! Sudah-sudah.. Aku minta maaf.."
"Kau tidak mengerti!" teriak Reina keras yang langsung membuat Tan tercengang. Tangannya yang tadi merapikan rambut Reina langsung ia tarik dan mendekap mulutnya dengan ekspresi berlebihan.
"Kau-kau kenapa?" tanyanya.
"Aku kesal!" teriak Reina dan langsung pergi. Tak lupa ia menyerat temannya dan menjauh dari Tan.
Tan terdiam beberapa saat lalu mulai berpikir.
"Apa lelaki tadi.. Benar! Reina pasti menyukainya! Tapi.. Kenapa dia membawa pergi sekretarisku?! Tidak bisa dibiarkan!" oceh Tan dan langsung memacu langkah keluar gerbang, ia masuk ke mobilnya dan langsung mengemudi kembali ke kantor.
***
Karin sudah lebih dulu tiba sebelum Tan. Pantas saja, ia naik motor dengan Zayn. Dan Zayn mengendarai motornya seperti sedang balapan.
Karin langsung masuk ke toilet untuk mengganti pakaiannya. Ia sengaja membawa pakain formal supaya tidak harus pulang lagi ke rumah. Setelah berganti pakaian, Karin berdiri di depan cermin dan menatap bayangan nya.
"Hari ini blazer ku tidak kusam kan?" gumamnya sambil menatap blazer hitam yang dikenakannya. Ia mengangguk setelah yakin blazernya tampak bagus. Ia lalu melepas ikatan rambutnya dan membuatnya tergerai. Tangannya langsung bergerak menatanya supaya rapi.
"Aku tidak mau si Tan itu mengomentari penampilanku lagi! Tapi.. Hak sepatu dan parfume.. Aku tidak punya yang lain!" keluhnya sambil melengos.
"Ah! Sudahlah! Jika dia mengatai aku pendek lagi, akan kupaksa dia memakai sepatuku dan meminum parfumku!" gumamnya lalu segera berjalan keluar dan tak lupa membawa tasnya.
"Karin.. Akhirnya kau datang juga.." ucap Gracia yang langsung berdiri dari duduknya ketika melihat Karin datar. Karin tersenyum, merasa tak enak telah membuat Gracia menggantikan tugasnya. Lagipula ia heran kenapa Tan tidak mencari sekretaris lain saja.
"Maaf merepotkanmu.." ucap Karin sambil menundukkan kepala. Gracia tersenyum maklum.
"Santai saja.. Aku senang kau sudah datang! Oh ya.. Direktur menyuruhmu langsung ke ruangannya saat kau datang.. Tapi dia sendiri.." ucapan Gracia terhenti saat dilihatnya Tan keluar dari dalam lift dan melangkah mendekat. Graciapun langsung memberi isyarat pada Karin bahwa Tan sudah datang.
Karin berbalik tepat saat Tan sudah dekat dengannya, tanpa menghentikan langkah, Tan langsung menggerakkan jarinya agar Karin mengikutinya masuk ke dalam ruangannya. Karin mendesis.
"Ya sudah.. Aku pergi dulu ya.." pamit Gracia. Karin hanya mengangguk lalu segera menyusul Tan yang sudah lebih dulu masuk ke ruangannya.
"Apa yang kau mau?!" tanya Karin tanpa rasa bersalah. Padahal ia tau, Tan pasti kesal karena ia tak menelponnya dan bahkan mengabaikan telpon lelaki itu.
Tan yang sudah duduk di kursi kerjanya menatap Karin intens.
"Siapa lelaki itu?" tanya Tan. Karin menautkan alis mendengarnya.
"Siapa?"
"Si pahlawan kesiangan itu!"
"Kau ini bicara apa?"
"Ya ampun! Kau tidak mengerti bahasa manusia ya?!"
"Kau bicara tentang pahlawan kesiangan! Aku tidak mengerti, siapa yang kau maksud?"
"Siapa lagi kalau bukan lelaki yang mengantarmu kemari!"
Karin mengernyit dan menatap Tan dengan mata memicing. Tan yang ditatap seperti itu tidak mau kalah, matanya ikut memicing dan mambalas tatapan Karin.
"Siapa yang berkedip duluan berarti dia bodoh!" tukas Karin dan Tan tersentak.
"A-apa?" dan matanya langsung terkedip. Karin tertawa puas.
"Kau bodoh! Hahaha!" tawanya dengan riang. Tan manyun, ia merasa bukan bodoh tapi dibodohi.
"Aku serius!" serunya sambil menggebrak meja. Karin mengangguk mengerti.
"Dia Zayn! Temanku yang paling tampan! Kenapa?"
Tan kembali tersentak dan terlihat tak terima.
"Heh! Bagaimana bisa kau bilang dia temanmu yang paling tampan sementara di depanmu ada yang lebih tampan!" seru Tan. Kerin mencibir.
"Kau bukan temanku!" ketusnya.
"Kalau begitu sekarang aku temanmu!" tukas Tan sambil mengulurkan tangan. Karin terkekeh dan menatapnya aneh. Iapun menjabat saja tangan Tan walaupun sebenarnya ia sangat heran dengan sikap Tan.
"Nah, sekarang siapa temanmu yang paling tampan?"
"Tentu saja Zayn!"
"Apa?!" Tan kembali menggebrak meja dengan penuh emosi.
"Kau ini kenapa sih? Aneh sekali! Untuk apa kau tanya siapa Zayn, apa kau suka padanya?"
"Suka padanya?! Kau gila!" teriak Tan. Karin langsung menutup telinga.
"Lalu kenapa?" Karin balik teriak.
"Jangan-jangan kau cemburu karna dia mengantarku! Kau suka padaku ya?" terkaan Karin langsung membuat mata Tan terbelalak.
"Heh! Percaya diri sekali kau! Aku tidak akan suka padamu! Pasti kau yang suka padaku!"
"Aku? Suka padamu? Benar-benar tidak masuk akal! Memangnya apa yang membuatku suka padamu hah?!"
"Aku tampan, imut, manis, tampan, ramah, populer! Dan itu pasti bisa membuatmu suka padaku!"
"Hah! Diantara kelebihan yang kau sebutkan itu! Tidak ada satupun yang tampak dimataku!"
"Kau buta, makanya tidak tampak!"
"A-apa?" Karin yang emosi di katai buta langsung mengambil tumpukan map diatas meja dan memukul kepala Tan.
"Beraninya mengataiku buta!" kesal Karin sambil terus memukul Tan. Tan berteriak sambil berusaha melindungi diri.
"Kalau bukan buta apa? Katarak?" ketusnya. Karin langsung bertambah keras memukulnya.
"Heh! Kau berani berbuat kasar pada bosmu, kau bisa melanggar kontrak!"
"Kontrak apa?! Aku tidak peduli dengan kontrak itu! Kau setan gila menyebalkan! Bisanya hanya membuat moodku buruk!" maki Karin. Tan yang sudah tak tahan dipukuli langsung menangkap pergelangan tangan Karin dan menariknya hingga tubuh gadis itu condong kedepan dan wajahnya hampir bertabrakan dengan wajah Tan. Mata Karin membelalak dan map ditangannya jatuh begitu saja. Tan menyeringai.
"Jika sedekat ini.. Kau pasti sadar siapa yang paling tampan!" ucap Tan percaya diri.
Karin langsung menjauhkan wajahnya dan berusaha melepaskan tangannya dari Tan. Tapi Tan kembali menariknya hingga posisi mereka kembali seperti tadi.
Karin menelan ludah dan Tan menatapnya merasa menang.
"Cepat katakan.. Siapa yang paling tampan sekarang!" ujar Tan diiringi evil smirknya.
Karin hanya terdiam tak mampu berucap apapun.
"Apa harus kucium dulu?"
Mata Karin membelalak lebar, Tan tersenyum manis dan membuat Karin merasakan dentuman keras di jantungnya yang mulai berpacu kencang.
Tan bersorak dalam hati, senang sekali dapat mengerjai Karin seperti ini.
Tiba-tiba pintu ruangan Tan terbuka dan seseorang berdiri di ambang pintu. Menatap pemandangan di depannya dengan wajah kaget. Posisi meja kerja Tan yang menyamping dari pintu membuat Keenan dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukan Tan dan Karin.
Baik Tan maupun Karin, keduanya kaget saat pintu terbuka dan langsung menolehkan kepala mereka. Keduanya terbelalak dan tubuh keduanya menjadi benar-benar kaku.
READ MORE - Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #22
Dari dalam mobil, lelaki itu menajamkan matanya, mencari-cari keberadaan Karin diantara mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang. Tan meringis, Karin tak terlihat.
"Awas saja kalau dia membohongiku! Akan ku cabut gajinya dan kutuntut ke pengadilan!" umpatnya.
Tan berniat turun tapi sebelum itu, ia melepas jas yang membuatnya kepanasan. Dasi yang ia kenakan pun ikut dilepaskannya. Ia tidak ingin terlihat seperti dosen lagi. Meskipun dosen itu jenius namun tetap terlihat kuno, menurutnya.
Setelah memastikan wajahnya nampak cute, Tan pun turun dari mobilnya. Dengan langkah santai dan karismatik, ia melangkah memasuki gerbang kampus. See, semua orang memandangnya kagum. Hati Tan bertepuk tangan riang.
Setelah agak jauh dari gerbang, Tan menghentikan langkahnya. Ia agak bingung mau kemana. Jika ke fakultas seni, ia takut bertemu orang yang dianggapnya spesies mengerikan.
Tan baru akan kembali melanjutkan langkahnya ketika mendengar suara seorang gadis memekik, menyerukan namanya.
"Daaaannn!!"
"Cih, permen loly itu lagi!" gerutu Tan sebelum berbalik dan mendapati Reina dengan jarak beberapa meter di belakangnya.
Reina sedang bersama temannya, namun ia langsung lari menghampiri Tan dan meninggalkan temannya sendirian.
"Sedang apa kau disini?" tanya Reina sambil menatap aneh Tan.
"Aku? Oh.. Hanya lihat-lihat" jawab Tan santai. Kening Reina mengernyit.
"Lihat apa? Kau mau cari gadis itu ya?!" terka Reina dengan telunjuk hampir mengenai mata Tan, Tan kesal dan langsung memelintir jari telunjuk Reina sampai gadis itu meringis minta di lepaskan.
"Kau salah paham!"
"Salah paham apa? Kau kan bertemu gadis yang menciummu itu disini, pasti kau sengaja datang untuk mencarinya! Atau.. Kau sudah bertemu dengannya dan ingin mengajaknya kencan?"
Ocehan Reina benar-benar membuat Tan gemas. Harusnya ia tak hanya memelintir jarinya tapi juga mulutnya.
"Dengar ya anak kecil, urus saja urusanmu sendiri!" tukas Tan. Reina cemberut.
"Kau selalu mengatakan hal itu jika sedang tidak membutuhkanku!"
"Tentu saja! Jika aku membutuhkanmu maka aku akan bicara dengan sangat manis dan tersenyum imut seperti ini.." sahut Tan sembari tersenyum dengan imutnya. Reina lekas melayangkan cubitan di pipinya.
"Aish! Sakit tau!" ringis Tan dan Reina hanya tertawa.
"Oh ya.. Itu temanmu kenapa melihatku begitu?" tanya Tan yang tiba-tiba merasa merinding ketika melihat teman Reina yang menatapnya dengan mata berbinar, wajah sumringah dan bibir komat-kamit. Reina ikut menoleh pada temannya dan ikut merinding.
"Dia baru pertama kali melihat orang aneh! Sudah ya, aku pergi dulu! Semoga bertemu gadis yang kau cari!" Reina pun segera berbalik hendak pergi tapi Tan dengan segera menarik baju sepupunya itu hingga Reina kembali menghadap kearahnya sambil meringis.
"Apa-apaan kau?!" bentaknya kesal.
"Kau menceritakan tentang gadis itu pada kak Keenan! Iya kan?" tanya Tan dengan tatapan tajam. Reina mengangguk dengan polosnya dan itu langsung membuat Tan merengkuh kepalanya dan mengacak-acak rambutnya dengan geram. Reina menjerit-jerit sambil berusaha melepaskan diri.
"Mulutmu itu benar-benar bocor ya! Kau menyebalkan! Tidak bisa di percaya! Kau seperti atap bocor yang tidak bisa melindungi isi rumah dan seperti bak mandi bocor yang tidak bisa menyimpan air di dalamnya! Kenapa kau ceritakan padanya hah?!" amuk Tan dengan emosi sampai ke ubun-ubun. Reina tercekik dan hampir tak dapat bicara. Tangannya melambai-lambai berusaha minta pertolongan tapi orang-orang disekitarnya hanya melongo melihatnya bahkan teman Reina sendiri masih dibawah hipnotis Tan.
"Heh! Kau mau membunuhnya hah?!"
Tan tersentak saat suara seorang lelaki terdengar membentak dan ia yakin bentakan itu untuknya. Tak lama setelah suara itu terdengar, pemiliknyapun muncul dan langsung mendorong Tan menjauh dari Reina. Reina yang merasa baru saja selamat dari bencana langsung bersembunyi dibalik punggung penyelamatnya.
Tan menatap lelaki tinggi berwajah barat yang terlihat melindungi Reina. Padahal dibelakangnya, Reina menjulurkan lidah kearah Tan.
"Mana boleh kau sekasar itu terhadap wanita? Kau tidak malu? Semua orang melihatmu menganiaya seorang wanita!" seru lelaki itu. Tan mendesis lalu tersenyum sinis.
"Wah.. Senang sekali, putri cerewet diselamatkan pangeran pemberani!" sindirnya dengan mata melotot kearah Reina. Reina hanya membalasnya dengan leletan lidah.
Ia lalu menginjit dan mencondongkan wajahnya untuk melihat siapa yang telah menyelamatkannya dan mata gadis itu membola besar. Sedari tadi, ia tidak sadar bahwa yang menyelamatkannya adalah Zayn.
"Kau tidak apa-apa kan?" tanya Zayn sambil melirik Reina. Jantung Reina berdebar kencang dan muka nya menjadi merah.
"Ya ampun.. Sepupu manjaku tersipu malu.." Tan mencibir dan terkekeh geli melihat tingkah Reina.
"Dia sepupumu?" tanya Zayn pada Tan dan dengan cueknya Tan mengangguk."Kenapa? Apa aku tidak boleh memberi pelajaran pada sepupuku sendiri?" tanya Tan dingin. Zayn menatapnya lalu menoleh pada Reina yang masih ada di belakangnya.
"Walaupun dia sepupumu, kau tidak seharusnya menganiayanya seperti itu!" tukas Zayn tegas. Tan memanyunkan bibirnya.
"Terserah kau saja! Kemarikan dia, aku belum puas mengacak kepalanya!"
Tan hendak menarik tangan Reina tapi Zayn menghalanginya membuat Reina benar-benar terpesona pada sosok lelaki itu.
Beberapa orang mulai menonton 3 orang itu. Dimata mereka, ketiganya sedang terlibat cinta segitiga. Dan menurut mereka, Reina sangat beruntung di perebutkan dua lelaki tampan.
"Zayn! Ada apa ini?" suara Karin terdengar dari belakang Tan. Gadis itu berlari-lari kecil mendekati Zayn yang tengah beradu pandang dengan Tan.
Tan menoleh dan seketika itu juga Karin terpaku. Matanya membelalak, tak menyangka sama sekali bahwa bosnya itu ada disini.
"A-apa yang kau lakukan disini?" tanya Karin takut-takut. Tan dengan ekspresi cool menunjuk kearah Reina yang masih bersembunyi di belakang Zayn.
"Aku mau menjemput sepupuku dan pangerannya datang" ucap Tan datar. Karin melirik Zayn lalu mengernyit.
"Siapa di belakangmu?" tanyanya yang tak dapat melihat wajah Reina.
Zayn bergeser beberapa langkah membuat Reina tak punya tameng lagi untuk berlindung. Karin hanya menatapnya karena memang tak mengenal Reina.
"Aku minta maaf karena sudah mencampuri urusanmu dengan sepupumu tapi tidak seharusnya kau bersikap kasar padanya.. Bagaimanapun, dia itu seorang gadis!" ucap Zayn. Tan hanya mengangguk-angguk cuek.
Tan lalu memandang Karin dan tatapannya menyiratkan bahwa ia sangat kesal pada gadis itu. Karin hanya diam tanpa membalas tatapannya.
"Karin.. Ayo kita pulang.." ajak Zayn sambil mengulurkan tangannya kearah Karin. Tan terkejut terlebih saat Karin menggapai tangannya dan menggenggamnya akrab.
"Oh tidak! Pemandangan apa ini?" umpat Tan dalam hati.
"Apa dia mereka pacaran?" batin Reina sedih.
"Tan, aku akan ke kantor dengan Zayn!" ucap Karin lalu melenggang dengan santai bersama Zayn. Meninggalkan Tan dan Reina yang perasaannya kini sama. Cemburu, mungkin.
"Aish! Apa-apaan mereka! Sok mesra di depanku!" gerutu Tan. Ia lalu menoleh pada Reina yang jadi sedih dan tertunduk. Tan pun langsung mengusap rambut Reina yang berantakan dan merapikannya.
"Sudah! Jangan sedih begitu.. Maafkan aku.. Aku hanya bercanda tadi!" kata Tan. Reina tetap tertunduk.
"Hey.. Kita sudah sering melakukan ini! Kau bahkan sering menjambak rambutku juga! Sudah-sudah.. Aku minta maaf.."
"Kau tidak mengerti!" teriak Reina keras yang langsung membuat Tan tercengang. Tangannya yang tadi merapikan rambut Reina langsung ia tarik dan mendekap mulutnya dengan ekspresi berlebihan.
"Kau-kau kenapa?" tanyanya.
"Aku kesal!" teriak Reina dan langsung pergi. Tak lupa ia menyerat temannya dan menjauh dari Tan.
Tan terdiam beberapa saat lalu mulai berpikir.
"Apa lelaki tadi.. Benar! Reina pasti menyukainya! Tapi.. Kenapa dia membawa pergi sekretarisku?! Tidak bisa dibiarkan!" oceh Tan dan langsung memacu langkah keluar gerbang, ia masuk ke mobilnya dan langsung mengemudi kembali ke kantor.
***
Karin sudah lebih dulu tiba sebelum Tan. Pantas saja, ia naik motor dengan Zayn. Dan Zayn mengendarai motornya seperti sedang balapan.
Karin langsung masuk ke toilet untuk mengganti pakaiannya. Ia sengaja membawa pakain formal supaya tidak harus pulang lagi ke rumah. Setelah berganti pakaian, Karin berdiri di depan cermin dan menatap bayangan nya.
"Hari ini blazer ku tidak kusam kan?" gumamnya sambil menatap blazer hitam yang dikenakannya. Ia mengangguk setelah yakin blazernya tampak bagus. Ia lalu melepas ikatan rambutnya dan membuatnya tergerai. Tangannya langsung bergerak menatanya supaya rapi.
"Aku tidak mau si Tan itu mengomentari penampilanku lagi! Tapi.. Hak sepatu dan parfume.. Aku tidak punya yang lain!" keluhnya sambil melengos.
"Ah! Sudahlah! Jika dia mengatai aku pendek lagi, akan kupaksa dia memakai sepatuku dan meminum parfumku!" gumamnya lalu segera berjalan keluar dan tak lupa membawa tasnya.
"Karin.. Akhirnya kau datang juga.." ucap Gracia yang langsung berdiri dari duduknya ketika melihat Karin datar. Karin tersenyum, merasa tak enak telah membuat Gracia menggantikan tugasnya. Lagipula ia heran kenapa Tan tidak mencari sekretaris lain saja.
"Maaf merepotkanmu.." ucap Karin sambil menundukkan kepala. Gracia tersenyum maklum.
"Santai saja.. Aku senang kau sudah datang! Oh ya.. Direktur menyuruhmu langsung ke ruangannya saat kau datang.. Tapi dia sendiri.." ucapan Gracia terhenti saat dilihatnya Tan keluar dari dalam lift dan melangkah mendekat. Graciapun langsung memberi isyarat pada Karin bahwa Tan sudah datang.
Karin berbalik tepat saat Tan sudah dekat dengannya, tanpa menghentikan langkah, Tan langsung menggerakkan jarinya agar Karin mengikutinya masuk ke dalam ruangannya. Karin mendesis.
"Ya sudah.. Aku pergi dulu ya.." pamit Gracia. Karin hanya mengangguk lalu segera menyusul Tan yang sudah lebih dulu masuk ke ruangannya.
"Apa yang kau mau?!" tanya Karin tanpa rasa bersalah. Padahal ia tau, Tan pasti kesal karena ia tak menelponnya dan bahkan mengabaikan telpon lelaki itu.
Tan yang sudah duduk di kursi kerjanya menatap Karin intens.
"Siapa lelaki itu?" tanya Tan. Karin menautkan alis mendengarnya.
"Siapa?"
"Si pahlawan kesiangan itu!"
"Kau ini bicara apa?"
"Ya ampun! Kau tidak mengerti bahasa manusia ya?!"
"Kau bicara tentang pahlawan kesiangan! Aku tidak mengerti, siapa yang kau maksud?"
"Siapa lagi kalau bukan lelaki yang mengantarmu kemari!"
Karin mengernyit dan menatap Tan dengan mata memicing. Tan yang ditatap seperti itu tidak mau kalah, matanya ikut memicing dan mambalas tatapan Karin.
"Siapa yang berkedip duluan berarti dia bodoh!" tukas Karin dan Tan tersentak.
"A-apa?" dan matanya langsung terkedip. Karin tertawa puas.
"Kau bodoh! Hahaha!" tawanya dengan riang. Tan manyun, ia merasa bukan bodoh tapi dibodohi.
"Aku serius!" serunya sambil menggebrak meja. Karin mengangguk mengerti.
"Dia Zayn! Temanku yang paling tampan! Kenapa?"
Tan kembali tersentak dan terlihat tak terima.
"Heh! Bagaimana bisa kau bilang dia temanmu yang paling tampan sementara di depanmu ada yang lebih tampan!" seru Tan. Kerin mencibir.
"Kau bukan temanku!" ketusnya.
"Kalau begitu sekarang aku temanmu!" tukas Tan sambil mengulurkan tangan. Karin terkekeh dan menatapnya aneh. Iapun menjabat saja tangan Tan walaupun sebenarnya ia sangat heran dengan sikap Tan.
"Nah, sekarang siapa temanmu yang paling tampan?"
"Tentu saja Zayn!"
"Apa?!" Tan kembali menggebrak meja dengan penuh emosi.
"Kau ini kenapa sih? Aneh sekali! Untuk apa kau tanya siapa Zayn, apa kau suka padanya?"
"Suka padanya?! Kau gila!" teriak Tan. Karin langsung menutup telinga.
"Lalu kenapa?" Karin balik teriak.
"Jangan-jangan kau cemburu karna dia mengantarku! Kau suka padaku ya?" terkaan Karin langsung membuat mata Tan terbelalak.
"Heh! Percaya diri sekali kau! Aku tidak akan suka padamu! Pasti kau yang suka padaku!"
"Aku? Suka padamu? Benar-benar tidak masuk akal! Memangnya apa yang membuatku suka padamu hah?!"
"Aku tampan, imut, manis, tampan, ramah, populer! Dan itu pasti bisa membuatmu suka padaku!"
"Hah! Diantara kelebihan yang kau sebutkan itu! Tidak ada satupun yang tampak dimataku!"
"Kau buta, makanya tidak tampak!"
"A-apa?" Karin yang emosi di katai buta langsung mengambil tumpukan map diatas meja dan memukul kepala Tan.
"Beraninya mengataiku buta!" kesal Karin sambil terus memukul Tan. Tan berteriak sambil berusaha melindungi diri.
"Kalau bukan buta apa? Katarak?" ketusnya. Karin langsung bertambah keras memukulnya.
"Heh! Kau berani berbuat kasar pada bosmu, kau bisa melanggar kontrak!"
"Kontrak apa?! Aku tidak peduli dengan kontrak itu! Kau setan gila menyebalkan! Bisanya hanya membuat moodku buruk!" maki Karin. Tan yang sudah tak tahan dipukuli langsung menangkap pergelangan tangan Karin dan menariknya hingga tubuh gadis itu condong kedepan dan wajahnya hampir bertabrakan dengan wajah Tan. Mata Karin membelalak dan map ditangannya jatuh begitu saja. Tan menyeringai.
"Jika sedekat ini.. Kau pasti sadar siapa yang paling tampan!" ucap Tan percaya diri.
Karin langsung menjauhkan wajahnya dan berusaha melepaskan tangannya dari Tan. Tapi Tan kembali menariknya hingga posisi mereka kembali seperti tadi.
Karin menelan ludah dan Tan menatapnya merasa menang.
"Cepat katakan.. Siapa yang paling tampan sekarang!" ujar Tan diiringi evil smirknya.
Karin hanya terdiam tak mampu berucap apapun.
"Apa harus kucium dulu?"
Mata Karin membelalak lebar, Tan tersenyum manis dan membuat Karin merasakan dentuman keras di jantungnya yang mulai berpacu kencang.
Tan bersorak dalam hati, senang sekali dapat mengerjai Karin seperti ini.
Tiba-tiba pintu ruangan Tan terbuka dan seseorang berdiri di ambang pintu. Menatap pemandangan di depannya dengan wajah kaget. Posisi meja kerja Tan yang menyamping dari pintu membuat Keenan dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukan Tan dan Karin.
Baik Tan maupun Karin, keduanya kaget saat pintu terbuka dan langsung menolehkan kepala mereka. Keduanya terbelalak dan tubuh keduanya menjadi benar-benar kaku.
Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #21
Hari ini, Daniel berangkat ke kantor agak sedikit kesiangan. Sepertinya lelaki itu terlambat bangun dikarenakan terus
mengingat taruhan gilanya dengan Keenan.
Semalam dirinya berdebat dengan dirinya sendiri. Satu sisi, ia terus mengutuki dirinya yang sangat bodoh mengatakan pada Keenan bahwa ia akan meninggalkan
posisinya sebagai Direktur jika ia menyukai Karin dalam waktu satu bulan ini. Tapi sisi dirinya yang lain mendukung perbuatannya
itu, karena jika ia benar-benar berhasil untuk tidak menyukai Karin, maka Keenan akan
memberikan sesuatu yang sangat ia inginkan dari dulu, lagipula ia yakin tak akan jatuh cinta pada Karin mengingat perilakunya yang kasar dan juga cengeng.
Berdebat semalaman memberikan efek lesu di wajah Daniel. Mengemudipun dengan kecepatan yang super lelet dan satu-satunya
orang yang dapat mengkomplainnya
mengenai keterlambatannya ke kantor adalah Ibunya, presdir dari HT group, perusahaan yang dipimpinnya.
Ibu Daniel yang sedang berada di luar negeri itu tak henti menghubungi anaknya karena
mendapat laporan dari beberapa orang kepercayaannya mengenai keterlambatan Daniel padahal jam 9 pagi nanti ada client penting yang harus ia temui. Daniel yang
memang sedang malas selalu menutup telfon Ibunya secara sepihak.
Daniel sampai di kantor dan langsung memarkirkan mobilnya. Sebelum keluar, ia mengaca di spion, memastikan bahwa
dirinya tidak terlihat buruk apalagi jelek.
"Aku tetap harus menjaga imageku sebagai direktur yang tampan!" gumamnya sambil
tersenyum pada bayangannya di kaca spion.
Ia lalu merapikan kemeja dan dasinya, tak lupa dengan tatanan rambutnya yang ikut dirapikannya. Bagaimanapun juga, tatanan rambut sangat mempengaruhi penampilan
seseorang, menurutnya.
Keluar dari mobil, Daniel menegakkan badan dan berjalan santai namun setelah memastikan tak ada yang melihatnya, bahunya langsung merosot dan jalannya
menjadi lunglai.
"Ini gara-gara Kak Keenan yang
menyebalkan! Dia sama saja dengan adiknya si Reina itu! Bisanya hanya membuatku
kesal! Benar-benar saudara yang serasi!" umpatnya dengan bibir mengerucut. Lelaki
itu kembali menegakkan badannya dan menyunggingkan senyum ketika memasuki lobby dimana semua orang akan
menyapanya dan menundukkan kepala.Daniel tersenyum ramah.
Senyum Daniel lenyap begitu tak melihat Karin di mejanya dan malah melihat Gracia tengah menatapi layar komputer di meja
Karin. Daniel ingat, ia memang menyuruh Gracia menggantikan Karin sementara jika gadis itu tak masuk, padahal Gracia amat
sangat keberatan karena dirinya itu general manager bukan sekretaris. Menjadi sekretaris walau hanya sebentar, baginya
seperti turun jabatan.
Begitu melihat Daniel, Gracia langsung berdiri dan menunduk hormat. Daniel mendekatinya dan berdiri di depan meja.
"Mana si cengeng itu?" mendengar pertanyaan Daniel yang tidak jelas menimbulkan kerutan di kening Gracia.
Daniel menghela nafas lalu memperjelas pertanyaannya.
"Sekretaris baruku! Mana dia?"
"Oh.. Dia menelponku dan mengatakan ada kuliah pagi ini dan akan datang nanti siang.."
jawab Gracia. Daniel nampak kesal
mendengar jawabannya.
"Ya sudah! Gantikan tugasnya dengan baik, paling tidak kau lebih terpelajar darinya!" ucap Daniel sambil tersenyum manis. Gracia nyaris terbius senyumnya itu tapi buru-buru menyadarkan diri. Ia ingat sudah bersuami.
Daniel berjalan masuk ke ruangannya.Setidaknya masih ada waktu sebelum
menemui client. Yeah, waktu untuk kembali
berdebat? Mungkin.
"Ya ampun, ya ampun, ya ampun! Kenapa dia tidak menelponku?" keluh Daniel sembari melempar jasnya keatas sofa lalu
menghentakkan kakinya dengan kesal.
"Dia harusnya menelfonku! Aku sudah bilang padanya! Bahkan sudah ku tegaskan!" rutuknya keki.
"Tak taukah dia, bahwa dia adalah gadis paling beruntung karena mendapat nomor telponku semudah itu?! Aish! Dia benar-
benar.." Daniel terus mengomel sendiri lalu menghempaskan tubuhnya diatas sofa.
Ia sempat diam beberapa saat sebelum kembali mengeluarkan ocehannya.
"Dia tidak menelponku! Itu bisa dianggap pelanggaran! Bisa saja dia menipuku dengan pergi kencan atau tidur dirumah kan?
Bagaimana dengan kemungkinan pura-pura kuliah demi bolos kerja!? Kurasa dia sudah besar kepala karena mendapat hak istimewa dariku! Oke! Akan ku pastikan dia menipuku atau tidak!"
Daniel bergegas bangkit lalu
berjalan keluar dari ruangannya. Gracia yang melihatnya langsung menegur membuat langkah penuh semangat milik Daniel
menjadi terhenti.
"Maaf, direktur.. Anda harus menemui client lima belas menit lagi.." kata Gracia memberitahu sekaligus mengingatkan.
Daniel melengos.
"Bagaimana kalau kau tunda saja?"
"Maaf.. Tapi client kita sedang dalam perjalan kemari.. Diperkirakan mereka sampai dalam waktu kurang dari sepuluh menit!"
Damn! Daniel merutuk dalam hatinya. Mana mungkin ia menggunakan waktu sepuluh menit untuk pergi memeriksa apakah Karin membohonginya atau tidak, keculi ada doraemon yang akan membantunya.
Sayangnya itu hanya ada dalam kartun yang sering di tonton Reina.
***
Karin sedang mengikuti pelajarannya di kampus. Hari ini ada ulangan mendadak yang mengharuskannya untuk datang. Ia tak mungkin membolos. Lagipula, ia sudah memberitahu Gracia.
Lepas dari pekerjaannya mengisi soal, Karin pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Gaji pertama yang diberikan Daniel dua kali lebih banyak dari gajinya dikantor yang lama dan itu membuat Karin
lupa caranya berhemat. Gadis itu memesan banyak makanan dan menghabiskannya sendirian.
"Jarang-jarang aku bisa makan banyak seperti ini!" gumamnya dengan mulut penuh.
Ia lalu teringat dengan Daniel yang berprilaku buruk tapi juga membuatnya senang. Yeah, membuatnya senang karena
memberinya pekerjaan dan gajinya yang banyak.
"Kalau dipikir-pikir, dia itu sebenarnya baik! Tapi kenapa dia selalu menggodaku dan berprilaku menyebalkan? Apa sebenarnya tujuannya mempekerjakanku? Oh iya! Dia
dekat dengan Pak Keenan, aku juga pernah bertemu dengannya di kantor yang lama! Jangan-
jangan..." Karin menghentikan gumamannya lalu secara tiba-tiba menggebrak meja.
"Dia sengaja memungutku!" serunya cukup lantang, membuat beberapa pasang mata menatapnya. Menyadari hal itu, Karin langsung duduk tenang dan bergelut kembali dengan makanannya.
"Ku rasa memang benar kalau dia ingin membalas perbuatanku dengan cara menyiksaku! Tapi kenapa dia memberiku gaji? Dia kasihan?"
Karin kembali larut dalam
pikirannya sampai seseorang datang dan duduk di depannya. Karin mengernyit dan mengangkat wajahnya. Gadis itu nyaris saja tersedak melihat siapa yang duduk di hadapannya saat ini.
"Zayn!" pekik Karin dengan ekspresi tak percaya. Sementara Zayn hanya tersenyum menatapnya.
"Lagi-lagi kau melihatku seperti melihat hantu!" umpat Zayn dengan senyum tetap tersungging. Karin langsung menyentuh pipi Zayn dengan jarinya, memastikan bahwa
orang di hadapannya ini memang manusia.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Karin setelah benar-benar yakin dengan sosok Zayn.
"Menurutmu apa? Aku kembali menjadi mahasiswa disini!"
"Apa?!" Karin melotot tak percaya, untung dimulutnya sudah tidak ada makanan. Jika masih, tidak menutup kemungkinan makanan itu akan muncrat ke wajah Zayn.
"Hey.. Tidak usah kaget begitu! Ini bukan berita mengenai Presiden yang bercerai dan kawin lagi!" kata Zayn sambil tergelak. Karin
memukul lengannya keras.
"Bagaimana bisa kau seenaknya begitu? Kau sudah lama menghilang dan sekarang
melanjutkan kuliah disini! Kau harus mulai dari semester 3 lagi?" pertanyaan Karin membuat Zayn menggelengkan kepalanya.
"Aku di semester yang sama denganmu! Aku punya cara sendiri untuk bisa melanjutkan
kuliah tanpa perlu memulai dari awal! Aku ini orang yang jenius!"
Karin mengernyit dan menatap Zayn dengan pandangan curiga.
"Kau.. Menyogok lagi ya?" terka Karin dengan suara berbisik. Zayn tertawa mendengarnya.
"Apa maksudmu dengan lagi? Aku baru kali ini melakukannya! Sudahlah! Ku lihat kau sedang makan, mana nalurimu sebagai
seorang teman? Kau bahkan tak
menawariku!" ujar Zayn dengan wajah cemberut. Karin memukul lengannya lagi.
"Makanlah sesukamu dan bayar sendiri!" tukas Karin dan Zayn langsung tertawa ringan.
"Hey.. Kau bilang akan bercerita mengenai hilangnya dirimu selama ini! Ayo cepat! Ceritakan padaku!" pinta Karin. Ia sudah
tidak tertarik lagi makan dan malah memfokuskan dirinya pada Zayn.
Zayn baru membuka mulut untuk mulai bercerita tapi suara ponsel Karin menghentikannya.
"Aish! Aku mengutuk orang yang
menelponku ini!" sungut Karin keki. Zayn hanya tersenyum dan membiarkannya mengangkat telpon.
Karin mengambil benda mungil itu dari saku celana jeansnya dan memeriksa layarnya. Ringisan keki langsung terdengar dari mulutnya.
"Siapa?" tanya Zayn tanpa mengeluarkan suara. Karin manjawabnya juga tanpa
mengeluarkan suara.
"Orang gila!"
Merekapun tertawa lepas. Karin
mengabaikan panggilan telponnya dan kembali fokus, siap mendengarkan cerita Zayn.
***
"Wah! Dia benar-benar parah!" Daniel uring-uringan di ruangannya. Sudah dua kali ia
mencoba menelpon Karin dan panggilan pertamanya diabaikan, lalu panggilan keduanya di reject. Daniel naik pitam, ia tak
mau menelpon tiga kali karena menurutnya itu pelecehan. Seorang lelaki menelpon
seorang gadis sebanyak tiga kali tanpa jawaban, berarti lelaki itu menyukai si gadis. Pemikiran macam apa itu? -,-
Daniel akhirnya terduduk di kursi kerjanya. Memutarnya sampai ia merasa pusing. Dan ketika kepalanya belum pulih dari efek
pusing itu, ia seakan melihat Karin yang tengah berdiri di depan mejanya dan tersenyum padanya. Seketika itu juga Daniel menggeleng-gelengkan kepalanya dan Karin yang tadi di depan mejanya kini tengah
duduk manis di sofa ruangannya dan tersenyum padanya. Daniel mengucek matanya dan saat melihat lagi, Karin sudah ada disampingnya. Lelaki itu terlonjak.
Namun sosok Karin yang dilihatnya hanya halusinasi.
"Ada apa denganku?!" teriak Daniel frustasi.
Ia lalu keluar dari ruangannya dan pergi ke toilet untuk mencuci muka.
"Dia ingin menghantuiku?" gumamnya lalu mendesah kesal.
Daniel melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 11 tepat, ia sudah selesai berurusan dengan clientnya dan iapun mulai berencana untuk memastikan
bahwa Karin membohonginya atau memang benar-benar pergi kuliah.
Sambil mengendari mobilnya, Daniel terus berdebat dengan dirinya lagi. Ketika ia ingat lelaki berkumis tebal, dengan wajah sangar dan perut buncit yang pernah dilihatnya di ruang teater tempo hari, Daniel langsung mengerem mobilnya. Namun ketika membayangkan Karin sedang berfoya-foya dengan gaji pertama yang ia berikan, lelaki
itu langsung menjalankan mobil dengan kecepatan penuh.
"Aku hanya tidak mau dibohongi! Itu saja! Daniel Tan yang tampan tidak mungkin datang menemui seorang gadis berstandar rendah karena menyukainya! Cih, tak akan!"
READ MORE - Cerpen Seru: The Pursuit Of Love #21
mengingat taruhan gilanya dengan Keenan.
Semalam dirinya berdebat dengan dirinya sendiri. Satu sisi, ia terus mengutuki dirinya yang sangat bodoh mengatakan pada Keenan bahwa ia akan meninggalkan
posisinya sebagai Direktur jika ia menyukai Karin dalam waktu satu bulan ini. Tapi sisi dirinya yang lain mendukung perbuatannya
itu, karena jika ia benar-benar berhasil untuk tidak menyukai Karin, maka Keenan akan
memberikan sesuatu yang sangat ia inginkan dari dulu, lagipula ia yakin tak akan jatuh cinta pada Karin mengingat perilakunya yang kasar dan juga cengeng.
Berdebat semalaman memberikan efek lesu di wajah Daniel. Mengemudipun dengan kecepatan yang super lelet dan satu-satunya
orang yang dapat mengkomplainnya
mengenai keterlambatannya ke kantor adalah Ibunya, presdir dari HT group, perusahaan yang dipimpinnya.
Ibu Daniel yang sedang berada di luar negeri itu tak henti menghubungi anaknya karena
mendapat laporan dari beberapa orang kepercayaannya mengenai keterlambatan Daniel padahal jam 9 pagi nanti ada client penting yang harus ia temui. Daniel yang
memang sedang malas selalu menutup telfon Ibunya secara sepihak.
Daniel sampai di kantor dan langsung memarkirkan mobilnya. Sebelum keluar, ia mengaca di spion, memastikan bahwa
dirinya tidak terlihat buruk apalagi jelek.
"Aku tetap harus menjaga imageku sebagai direktur yang tampan!" gumamnya sambil
tersenyum pada bayangannya di kaca spion.
Ia lalu merapikan kemeja dan dasinya, tak lupa dengan tatanan rambutnya yang ikut dirapikannya. Bagaimanapun juga, tatanan rambut sangat mempengaruhi penampilan
seseorang, menurutnya.
Keluar dari mobil, Daniel menegakkan badan dan berjalan santai namun setelah memastikan tak ada yang melihatnya, bahunya langsung merosot dan jalannya
menjadi lunglai.
"Ini gara-gara Kak Keenan yang
menyebalkan! Dia sama saja dengan adiknya si Reina itu! Bisanya hanya membuatku
kesal! Benar-benar saudara yang serasi!" umpatnya dengan bibir mengerucut. Lelaki
itu kembali menegakkan badannya dan menyunggingkan senyum ketika memasuki lobby dimana semua orang akan
menyapanya dan menundukkan kepala.Daniel tersenyum ramah.
Senyum Daniel lenyap begitu tak melihat Karin di mejanya dan malah melihat Gracia tengah menatapi layar komputer di meja
Karin. Daniel ingat, ia memang menyuruh Gracia menggantikan Karin sementara jika gadis itu tak masuk, padahal Gracia amat
sangat keberatan karena dirinya itu general manager bukan sekretaris. Menjadi sekretaris walau hanya sebentar, baginya
seperti turun jabatan.
Begitu melihat Daniel, Gracia langsung berdiri dan menunduk hormat. Daniel mendekatinya dan berdiri di depan meja.
"Mana si cengeng itu?" mendengar pertanyaan Daniel yang tidak jelas menimbulkan kerutan di kening Gracia.
Daniel menghela nafas lalu memperjelas pertanyaannya.
"Sekretaris baruku! Mana dia?"
"Oh.. Dia menelponku dan mengatakan ada kuliah pagi ini dan akan datang nanti siang.."
jawab Gracia. Daniel nampak kesal
mendengar jawabannya.
"Ya sudah! Gantikan tugasnya dengan baik, paling tidak kau lebih terpelajar darinya!" ucap Daniel sambil tersenyum manis. Gracia nyaris terbius senyumnya itu tapi buru-buru menyadarkan diri. Ia ingat sudah bersuami.
Daniel berjalan masuk ke ruangannya.Setidaknya masih ada waktu sebelum
menemui client. Yeah, waktu untuk kembali
berdebat? Mungkin.
"Ya ampun, ya ampun, ya ampun! Kenapa dia tidak menelponku?" keluh Daniel sembari melempar jasnya keatas sofa lalu
menghentakkan kakinya dengan kesal.
"Dia harusnya menelfonku! Aku sudah bilang padanya! Bahkan sudah ku tegaskan!" rutuknya keki.
"Tak taukah dia, bahwa dia adalah gadis paling beruntung karena mendapat nomor telponku semudah itu?! Aish! Dia benar-
benar.." Daniel terus mengomel sendiri lalu menghempaskan tubuhnya diatas sofa.
Ia sempat diam beberapa saat sebelum kembali mengeluarkan ocehannya.
"Dia tidak menelponku! Itu bisa dianggap pelanggaran! Bisa saja dia menipuku dengan pergi kencan atau tidur dirumah kan?
Bagaimana dengan kemungkinan pura-pura kuliah demi bolos kerja!? Kurasa dia sudah besar kepala karena mendapat hak istimewa dariku! Oke! Akan ku pastikan dia menipuku atau tidak!"
Daniel bergegas bangkit lalu
berjalan keluar dari ruangannya. Gracia yang melihatnya langsung menegur membuat langkah penuh semangat milik Daniel
menjadi terhenti.
"Maaf, direktur.. Anda harus menemui client lima belas menit lagi.." kata Gracia memberitahu sekaligus mengingatkan.
Daniel melengos.
"Bagaimana kalau kau tunda saja?"
"Maaf.. Tapi client kita sedang dalam perjalan kemari.. Diperkirakan mereka sampai dalam waktu kurang dari sepuluh menit!"
Damn! Daniel merutuk dalam hatinya. Mana mungkin ia menggunakan waktu sepuluh menit untuk pergi memeriksa apakah Karin membohonginya atau tidak, keculi ada doraemon yang akan membantunya.
Sayangnya itu hanya ada dalam kartun yang sering di tonton Reina.
***
Karin sedang mengikuti pelajarannya di kampus. Hari ini ada ulangan mendadak yang mengharuskannya untuk datang. Ia tak mungkin membolos. Lagipula, ia sudah memberitahu Gracia.
Lepas dari pekerjaannya mengisi soal, Karin pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Gaji pertama yang diberikan Daniel dua kali lebih banyak dari gajinya dikantor yang lama dan itu membuat Karin
lupa caranya berhemat. Gadis itu memesan banyak makanan dan menghabiskannya sendirian.
"Jarang-jarang aku bisa makan banyak seperti ini!" gumamnya dengan mulut penuh.
Ia lalu teringat dengan Daniel yang berprilaku buruk tapi juga membuatnya senang. Yeah, membuatnya senang karena
memberinya pekerjaan dan gajinya yang banyak.
"Kalau dipikir-pikir, dia itu sebenarnya baik! Tapi kenapa dia selalu menggodaku dan berprilaku menyebalkan? Apa sebenarnya tujuannya mempekerjakanku? Oh iya! Dia
dekat dengan Pak Keenan, aku juga pernah bertemu dengannya di kantor yang lama! Jangan-
jangan..." Karin menghentikan gumamannya lalu secara tiba-tiba menggebrak meja.
"Dia sengaja memungutku!" serunya cukup lantang, membuat beberapa pasang mata menatapnya. Menyadari hal itu, Karin langsung duduk tenang dan bergelut kembali dengan makanannya.
"Ku rasa memang benar kalau dia ingin membalas perbuatanku dengan cara menyiksaku! Tapi kenapa dia memberiku gaji? Dia kasihan?"
Karin kembali larut dalam
pikirannya sampai seseorang datang dan duduk di depannya. Karin mengernyit dan mengangkat wajahnya. Gadis itu nyaris saja tersedak melihat siapa yang duduk di hadapannya saat ini.
"Zayn!" pekik Karin dengan ekspresi tak percaya. Sementara Zayn hanya tersenyum menatapnya.
"Lagi-lagi kau melihatku seperti melihat hantu!" umpat Zayn dengan senyum tetap tersungging. Karin langsung menyentuh pipi Zayn dengan jarinya, memastikan bahwa
orang di hadapannya ini memang manusia.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Karin setelah benar-benar yakin dengan sosok Zayn.
"Menurutmu apa? Aku kembali menjadi mahasiswa disini!"
"Apa?!" Karin melotot tak percaya, untung dimulutnya sudah tidak ada makanan. Jika masih, tidak menutup kemungkinan makanan itu akan muncrat ke wajah Zayn.
"Hey.. Tidak usah kaget begitu! Ini bukan berita mengenai Presiden yang bercerai dan kawin lagi!" kata Zayn sambil tergelak. Karin
memukul lengannya keras.
"Bagaimana bisa kau seenaknya begitu? Kau sudah lama menghilang dan sekarang
melanjutkan kuliah disini! Kau harus mulai dari semester 3 lagi?" pertanyaan Karin membuat Zayn menggelengkan kepalanya.
"Aku di semester yang sama denganmu! Aku punya cara sendiri untuk bisa melanjutkan
kuliah tanpa perlu memulai dari awal! Aku ini orang yang jenius!"
Karin mengernyit dan menatap Zayn dengan pandangan curiga.
"Kau.. Menyogok lagi ya?" terka Karin dengan suara berbisik. Zayn tertawa mendengarnya.
"Apa maksudmu dengan lagi? Aku baru kali ini melakukannya! Sudahlah! Ku lihat kau sedang makan, mana nalurimu sebagai
seorang teman? Kau bahkan tak
menawariku!" ujar Zayn dengan wajah cemberut. Karin memukul lengannya lagi.
"Makanlah sesukamu dan bayar sendiri!" tukas Karin dan Zayn langsung tertawa ringan.
"Hey.. Kau bilang akan bercerita mengenai hilangnya dirimu selama ini! Ayo cepat! Ceritakan padaku!" pinta Karin. Ia sudah
tidak tertarik lagi makan dan malah memfokuskan dirinya pada Zayn.
Zayn baru membuka mulut untuk mulai bercerita tapi suara ponsel Karin menghentikannya.
"Aish! Aku mengutuk orang yang
menelponku ini!" sungut Karin keki. Zayn hanya tersenyum dan membiarkannya mengangkat telpon.
Karin mengambil benda mungil itu dari saku celana jeansnya dan memeriksa layarnya. Ringisan keki langsung terdengar dari mulutnya.
"Siapa?" tanya Zayn tanpa mengeluarkan suara. Karin manjawabnya juga tanpa
mengeluarkan suara.
"Orang gila!"
Merekapun tertawa lepas. Karin
mengabaikan panggilan telponnya dan kembali fokus, siap mendengarkan cerita Zayn.
***
"Wah! Dia benar-benar parah!" Daniel uring-uringan di ruangannya. Sudah dua kali ia
mencoba menelpon Karin dan panggilan pertamanya diabaikan, lalu panggilan keduanya di reject. Daniel naik pitam, ia tak
mau menelpon tiga kali karena menurutnya itu pelecehan. Seorang lelaki menelpon
seorang gadis sebanyak tiga kali tanpa jawaban, berarti lelaki itu menyukai si gadis. Pemikiran macam apa itu? -,-
Daniel akhirnya terduduk di kursi kerjanya. Memutarnya sampai ia merasa pusing. Dan ketika kepalanya belum pulih dari efek
pusing itu, ia seakan melihat Karin yang tengah berdiri di depan mejanya dan tersenyum padanya. Seketika itu juga Daniel menggeleng-gelengkan kepalanya dan Karin yang tadi di depan mejanya kini tengah
duduk manis di sofa ruangannya dan tersenyum padanya. Daniel mengucek matanya dan saat melihat lagi, Karin sudah ada disampingnya. Lelaki itu terlonjak.
Namun sosok Karin yang dilihatnya hanya halusinasi.
"Ada apa denganku?!" teriak Daniel frustasi.
Ia lalu keluar dari ruangannya dan pergi ke toilet untuk mencuci muka.
"Dia ingin menghantuiku?" gumamnya lalu mendesah kesal.
Daniel melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 11 tepat, ia sudah selesai berurusan dengan clientnya dan iapun mulai berencana untuk memastikan
bahwa Karin membohonginya atau memang benar-benar pergi kuliah.
Sambil mengendari mobilnya, Daniel terus berdebat dengan dirinya lagi. Ketika ia ingat lelaki berkumis tebal, dengan wajah sangar dan perut buncit yang pernah dilihatnya di ruang teater tempo hari, Daniel langsung mengerem mobilnya. Namun ketika membayangkan Karin sedang berfoya-foya dengan gaji pertama yang ia berikan, lelaki
itu langsung menjalankan mobil dengan kecepatan penuh.
"Aku hanya tidak mau dibohongi! Itu saja! Daniel Tan yang tampan tidak mungkin datang menemui seorang gadis berstandar rendah karena menyukainya! Cih, tak akan!"
Langganan:
Postingan (Atom)